Kamis, 15 Maret 2012

Swasembada Jagung dan Kesejahteraan Petani


Oleh  Silman Haridhy


Ada suatu hal yang menarik, baru-baru ini Departemen Pertanian (Deptan) mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia sejak tahun 2008 sudah mencapai swasembada jagung, dan diperhitungkan pada tahun 2009, swasembada jagung makin tambah eksis. Bagaimana tidak, jika tahun 2008, jumlah produksi jagung nasional mencapai 16,3 juta ton, artinya, tingkat produksi dengan kebutuhan sudah impas. Diproyeksikan, tahun 2009, produksi jagung lebih dari kebutuhan sehingga memerlukan ekspor.
Mengamati data yang dikeluarkan Deptan, pada tahun 2008 telah terjadi peningkatan produksi yang cukup signifikan yaitu naik lebih dari 22 % dibandingkan dengan tahun 2007. Pernyataan itu didukung pula oleh data yang diterbitkan BPS bahwa dalam tiga tahun terakhir produksi jangung nasional naik dengan cukup tajam. Tahun 2007 naik 14,45 %, dan 2008 naik 22,85 %. Pada saat yang sama angka impor juga terjadi penurunan cukup drastis. Impor tahun 2006 mencapai 1.6 juta ton, turun hanya tinggal 676 ribu ton (2007), dan  telah impas pada tahun 2008. Walaupun dari data tersebut pada tahun itu masih ada impor 170 ribu ton, tetapi juga ada ekspor sejumlah 150 ribu ton. Oleh karena itu, Deptan telah memasang target bahwa untuk tahun 2009 produksi jagung nasional mencapai 18 juta ton. Suatu target yang pantastis. Boleh jadi Deptan tentu sangat beralasan, upaya yang harus dilakukan adalah   perluasan luas tanam serta upaya perbaikan produktifitas. Untuk mencapai target tersebut, diharapkan luas panen secara nasional dapat mencapai 4.08 juta hektar atau naik 9.18 % dari 2008. Melalui perbaikan produksi diharapkan akan naik 9.13 % dari tahun lalu. Untuk mempertahankan dan meningkatkan swasembada jagung dengan target produksi yang tergolong fantastic itu, telah ditempuh upaya  penggunaan benih unggul hibrida dan benih bermutu. Oleh karena itu telah diluncurkan program bantuan baik benih maupun sarana produksi lainnya melalui berbagai macam subsidi.
Bahkan Deptan optimis jika dalam tahun ini bukan hanya swasembada yang harus dipertahankan, tetapi juga ekspor jagung  bisa meningkat tajam. Ekspor jagung misalnya, telah dilakukan di Gorontalo, Sulaweisi Selatan dan NTB. Makanya, Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Ali Muso (saat menjadi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan) dengan optimis menyampaikan bahwa tahun ini ekspor jagung bisa mencapai satu juta ton.
Secara perhitungan dan proyeksi angka-angka yang disajikan boleh jadi ada dasarnya bakal tercapai. Tetapi kajian terhadap anomaly iklim yang terjadi akhir-akhir ini bahkan durasinya akan lebih panjang sampai awal tahun depan seperti el-nino, ketsana, dan perubahan iklim global yang sangat dirasakan saat ini, sepertinya hambatan untuk tercapainya target tersebut akan dihadapi.
Walaupun demikian, penegasan tersebut tentu sangat menggembirakan, karena secara nasional kebutuhan jagung tergolong besar, di samping untuk kebutuhan pangan masyarakat, juga untuk pakan ternak dan kebutuhan industri. Apakah dengan telah swasembada jagung  membuat tambah mapan pangan masyarakat. Perlu kajian dan pengamatan lebih lanjut, karena tidak jarang data produksi meningkat tetapi masyarakat yang kurang pangan pertambahannya terjadi seperti “deret ukur”. Masih ingat kita bagaimana rakyat  Jaya wijaya di Papua kurus kelaparan karena pagan tidak cukup akibat gagal panen. Hal setara juga terjadi NTB dan NTT, mungkin juga masih banyak daerah lain termasuk Aceh.

Posisi Aceh
Ada korelasi positif yang terjadi dari swasembada jagung yang telah dicapai nasional dengan yang terjadi di Aceh. Data yang dirilis Dinas Tanaman Pangan, Bapeda dan BPS Aceh menyatakan untuk tahun 2008, produksi jagung Aceh naik sangat signifilkan yaitu 112,7 ribu ton. Walaupun demikian terjadi penurunan jika dibanding dengan 2007 yang mencapai 125 ribu ton lebih. Trend kenaikan produksi ini terjadi setiap tahun. Data dari 2003 sampai 2007 menunjukan bahwa peningkatan produksi terjadi secara significan. Jika tingkat produksi tahun 2003 hanya 67 ribu ton lebih telah terjadi peningkatan yang sangat baik  menjadi 125 ribu ton pada 2007. Karena itu Boleh jadi pada tahun 2009, produksi jagung Aceh diproyeksi mencapai 151,3 ribu ton. 
Peningkatan produksi telah terjadi secara nyata. Pertanyaannya sekarang apakah telah diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petani. Ini yang sulit dijabarkan. Para petani jagung dan juga petani lainnya tidak banyak dipengaruhi oleh jerih payah untuk meningkatkan produksi. Selama ini “Hukum Dagang” akan berlaku. Saat panen besar harga jatuh, sehingga petani  setelah naik akan ketimpuk tangga pula. Artinya resiko harga produksi rendah terbentang didepan mata jika produksi makin tinggi. Jika produksi naik dan panen besar harganyapun turun di bawah ambang batas. Mekanisme turun hargapun macam-macam. Ada “berita radio patok” yang tidak jelas sumbernya, atau SMS misterius yang menyatakan pasar jagung jenuh harga turun. Terjadilah pembelian di tingkat petani dengan harga yang rendah, pada hal  agen, penampung, atau tengkulak menjual dengan harga tinggi. Inilah masalah utama yang perlu diatasi dalam tataniaga dan matarantai penjualan hasil pertanian.
Kebiasaan membiarkan para petani menempuh pasar bebas dan sendiri-sendiri dalam menjual produk usahataninya perlu dihindari. Pemerintah perlu menata system tataniaga antara pengusaha dan petani sehingga petani tidak selalu menjadi objek, tetapi harus memiliki kemampuan untuk menentukan harga yang adil dalam memasarkan produk usahataninya. Semisal produksi jagung yang setiap tahun terjadi peningkatan, nyatanya usaha serius dan kerja keras yang dilakukan petani tidak menghasilkan kesejahteraan yang baik bagi mereka. Keuntungan yang besar cenderung dimanfaatkan oleh pihak ke tiga. Mereka tetap dhuafa dan mereka tergolong penghasil bahan pangan yang rawan pangan.

Peran Penyuluh
Biasanya orang hanya melihat pada fenomena yang nampak. Jarang orang melihat siapa “mak Bidan” sehingga fenomena itu bisa terwujud. Dalam hal  kemajuan di sector pertanian, orang akan melihat suatu prestasi dari instansi yang menangani, jarang orang melihat pada tangan-tangan terampil yang bertindak sebagai guru di lapangan. Mereka yang dibalik layar itulah “para penyuluh”. Ada pepatah mengatakan, “kaki petani dapat menyuburkan sawah, langkah penyuluh dapat menggairahkan petani”. Hal itulah akhirnya sangat disadari oleh Anton Apryantono mantan Menteri Pertanian periode lalu, sehingga selama kepemimpinannya di Deptan kegiatan penyuluhan ditingkatkan secara terencana.  Hasil dari upaya yang dilakukannya nampak jelas. Sejak 2007, Indonesia  sudah mencapai kembali swasembada beras, dan sekarang sudah diperoleh swasembada jagung, mungkin waktu depan akan diperoleh pula kemajuan lainnya. Masalahnya sekarang, langkah dan kebijakan yang telah diambil Menteri Pertanian tersebut belum disambut baik oleh pelaksana structural di daerah. Dan, inilah kendala dalam meningkatkan peran petani menjadi petani yang mandiri.
Secara jujur sangat patut harus diakui bahwa kemajuan pertanian saat ini karena berfungsinya kembali system penyuluhan pertanian. Dan penyuluh itu bukan melakukan kegiatan pada satu sektor saja, tetapi mereka harus membina seluruh aspek yang ditekuni oleh petani. Bukankah mereka adalah guru petani. Dan peran guru itupun harus dihargai dan diberi “syabas dan tahniah” dengan sungguh-sungguh oleh berbagai pihak.

*Penulis adalah Praktisi dan pemerhati pembangunan pertanian, tinggal di Banda Aceh.