Oleh Silman Haridhy
Ada suatu hal
yang menarik, baru-baru ini Departemen Pertanian (Deptan) mengeluarkan
pernyataan bahwa Indonesia sejak tahun 2008 sudah mencapai swasembada jagung,
dan diperhitungkan pada tahun 2009, swasembada jagung makin tambah eksis.
Bagaimana tidak, jika tahun 2008, jumlah produksi jagung nasional mencapai 16,3
juta ton, artinya, tingkat produksi dengan kebutuhan sudah impas.
Diproyeksikan, tahun 2009, produksi jagung lebih dari kebutuhan sehingga
memerlukan ekspor.
Mengamati data
yang dikeluarkan Deptan, pada tahun 2008 telah terjadi peningkatan produksi
yang cukup signifikan yaitu naik lebih dari 22 % dibandingkan dengan tahun
2007. Pernyataan itu didukung pula oleh data yang diterbitkan BPS bahwa dalam
tiga tahun terakhir produksi jangung nasional naik dengan cukup tajam. Tahun
2007 naik 14,45 %, dan 2008 naik 22,85 %. Pada saat yang sama angka impor juga
terjadi penurunan cukup drastis. Impor tahun 2006 mencapai 1.6 juta ton, turun
hanya tinggal 676 ribu ton (2007), dan
telah impas pada tahun 2008. Walaupun dari data tersebut pada tahun itu
masih ada impor 170 ribu ton, tetapi juga ada ekspor sejumlah 150 ribu ton.
Oleh karena itu, Deptan telah memasang target bahwa untuk tahun 2009 produksi
jagung nasional mencapai 18 juta ton. Suatu target yang pantastis. Boleh jadi
Deptan tentu sangat beralasan, upaya yang harus dilakukan adalah perluasan luas tanam serta upaya perbaikan
produktifitas. Untuk mencapai target tersebut, diharapkan luas panen secara
nasional dapat mencapai 4.08 juta hektar atau naik 9.18 % dari 2008. Melalui
perbaikan produksi diharapkan akan naik 9.13 % dari tahun lalu. Untuk
mempertahankan dan meningkatkan swasembada jagung dengan target produksi yang tergolong
fantastic itu, telah ditempuh upaya
penggunaan benih unggul hibrida dan benih bermutu. Oleh karena itu telah
diluncurkan program bantuan baik benih maupun sarana produksi lainnya melalui
berbagai macam subsidi.
Bahkan Deptan
optimis jika dalam tahun ini bukan hanya swasembada yang harus dipertahankan,
tetapi juga ekspor jagung bisa meningkat
tajam. Ekspor jagung misalnya, telah dilakukan di Gorontalo, Sulaweisi Selatan
dan NTB. Makanya, Dirjen Tanaman Pangan Sutarto Ali Muso (saat menjadi
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan) dengan optimis menyampaikan bahwa tahun ini
ekspor jagung bisa mencapai satu juta ton.
Secara
perhitungan dan proyeksi angka-angka yang disajikan boleh jadi ada dasarnya bakal
tercapai. Tetapi kajian terhadap anomaly iklim yang terjadi akhir-akhir ini
bahkan durasinya akan lebih panjang sampai awal tahun depan seperti el-nino,
ketsana, dan perubahan iklim global yang sangat dirasakan saat ini, sepertinya
hambatan untuk tercapainya target tersebut akan dihadapi.
Walaupun demikian, penegasan tersebut tentu sangat
menggembirakan, karena secara nasional kebutuhan jagung tergolong besar, di
samping untuk kebutuhan pangan masyarakat, juga untuk pakan ternak dan
kebutuhan industri. Apakah dengan telah swasembada jagung membuat tambah mapan pangan masyarakat. Perlu
kajian dan pengamatan lebih lanjut, karena tidak jarang data produksi meningkat
tetapi masyarakat yang kurang pangan pertambahannya terjadi seperti “deret
ukur”. Masih ingat kita bagaimana rakyat
Jaya wijaya di Papua kurus kelaparan karena pagan tidak cukup akibat
gagal panen. Hal setara juga terjadi NTB dan NTT, mungkin juga masih banyak
daerah lain termasuk Aceh.
Posisi Aceh
Ada korelasi
positif yang terjadi dari swasembada jagung yang telah dicapai nasional dengan
yang terjadi di Aceh. Data yang dirilis Dinas Tanaman Pangan, Bapeda dan BPS
Aceh menyatakan untuk tahun 2008, produksi jagung Aceh naik sangat signifilkan
yaitu 112,7 ribu ton. Walaupun demikian terjadi penurunan jika dibanding dengan
2007 yang mencapai 125 ribu ton lebih. Trend kenaikan produksi ini terjadi
setiap tahun. Data dari 2003 sampai 2007 menunjukan bahwa peningkatan produksi
terjadi secara significan. Jika tingkat produksi tahun 2003 hanya 67 ribu ton
lebih telah terjadi peningkatan yang sangat baik menjadi 125 ribu ton pada 2007. Karena itu Boleh
jadi pada tahun 2009, produksi jagung Aceh diproyeksi mencapai 151,3 ribu
ton.
Peningkatan
produksi telah terjadi secara nyata. Pertanyaannya sekarang apakah telah
diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan petani. Ini yang sulit dijabarkan.
Para petani jagung dan juga petani lainnya tidak banyak dipengaruhi oleh jerih
payah untuk meningkatkan produksi. Selama ini “Hukum Dagang” akan berlaku. Saat
panen besar harga jatuh, sehingga petani setelah naik akan ketimpuk tangga pula.
Artinya resiko harga produksi rendah terbentang didepan mata jika produksi
makin tinggi. Jika produksi naik dan panen besar harganyapun turun di bawah
ambang batas. Mekanisme turun hargapun macam-macam. Ada “berita radio patok”
yang tidak jelas sumbernya, atau SMS misterius yang menyatakan pasar jagung
jenuh harga turun. Terjadilah pembelian di tingkat petani dengan harga yang
rendah, pada hal agen, penampung, atau
tengkulak menjual dengan harga tinggi. Inilah masalah utama yang perlu diatasi
dalam tataniaga dan matarantai penjualan hasil pertanian.
Kebiasaan membiarkan para petani menempuh pasar bebas
dan sendiri-sendiri dalam menjual produk usahataninya perlu dihindari.
Pemerintah perlu menata system tataniaga antara pengusaha dan petani sehingga
petani tidak selalu menjadi objek, tetapi harus memiliki kemampuan untuk menentukan
harga yang adil dalam memasarkan produk usahataninya. Semisal produksi jagung
yang setiap tahun terjadi peningkatan, nyatanya usaha serius dan kerja keras
yang dilakukan petani tidak menghasilkan kesejahteraan yang baik bagi mereka. Keuntungan
yang besar cenderung dimanfaatkan oleh pihak ke tiga. Mereka tetap dhuafa dan
mereka tergolong penghasil bahan pangan yang rawan pangan.
Peran Penyuluh
Biasanya orang
hanya melihat pada fenomena yang nampak. Jarang orang melihat siapa “mak Bidan”
sehingga fenomena itu bisa terwujud. Dalam hal
kemajuan di sector pertanian, orang akan melihat suatu prestasi dari
instansi yang menangani, jarang orang melihat pada tangan-tangan terampil yang
bertindak sebagai guru di lapangan. Mereka yang dibalik layar itulah “para
penyuluh”. Ada pepatah mengatakan, “kaki petani dapat menyuburkan sawah,
langkah penyuluh dapat menggairahkan petani”. Hal itulah akhirnya sangat
disadari oleh Anton Apryantono mantan Menteri Pertanian periode lalu, sehingga
selama kepemimpinannya di Deptan kegiatan penyuluhan ditingkatkan secara
terencana. Hasil dari upaya yang
dilakukannya nampak jelas. Sejak 2007, Indonesia sudah mencapai kembali swasembada beras, dan
sekarang sudah diperoleh swasembada jagung, mungkin waktu depan akan diperoleh
pula kemajuan lainnya. Masalahnya sekarang, langkah dan kebijakan yang telah
diambil Menteri Pertanian tersebut belum disambut baik oleh pelaksana
structural di daerah. Dan, inilah kendala dalam meningkatkan peran petani
menjadi petani yang mandiri.
Secara jujur
sangat patut harus diakui bahwa kemajuan pertanian saat ini karena berfungsinya
kembali system penyuluhan pertanian. Dan penyuluh itu bukan melakukan kegiatan
pada satu sektor saja, tetapi mereka harus membina seluruh aspek yang ditekuni
oleh petani. Bukankah mereka adalah guru petani. Dan peran guru itupun harus
dihargai dan diberi “syabas dan tahniah” dengan sungguh-sungguh oleh berbagai
pihak.
*Penulis adalah Praktisi dan pemerhati pembangunan
pertanian, tinggal di Banda Aceh.