Sabtu, 31 Agustus 2013

AMANKAH PANGAN SEGAR KITA ?
Oleh Silman Haridhy

Apakah masih ingat betapa “gabuknya” orang di salah satu pesta perkawinan karena sebahagian tamu pada “muntah beliah” dan sangat mengkhawatirkan keselamatan jiwanya  sehingga sebahagian mereka segera dilarikan ke rumah sakit. Orang menganggap itu keracunan dan yang disalahkan ikan tongkol yang dinilai sebagai penyebabnya. Masih ingatkah kita sekelompok santri sebuah pesantren  setelah menghadiri suatu jamuan kepalanya segera “mumet” dan pusing diserta muntah-muntah, malah sebahagian diantara mereka ada yang sampai pingsan, tak sadarkan diri. Apakah gerangan penyebabnya itu ?. Setelah kejadian itu, tentu saja banyak orang berfikir macam-macam. Malah mungkin beredar pula informasi negatif, “hati-hati racun tuba telah mulai beredar”, “di era syariat ini banyak pula orang memuja burung tujoh”, sehingga korban jatuh bertumbangan, entah apa lagi info negatif yang berkembang di masyarakat. Di balik itu semua, muncul pula kecurigaan diantara masyarakat, siapa yang menyebarkan racun dan siapa pula yang mengamalkan “sihe” sehingga menimbulkann korban santet banyak orang. Info negatif itu kalau dibiarkan akan berkembang terus seperti “deret ukur” dan tentu saja meresahkan.
 Kejadian “mabok” setelah menyantap makanan bukan hanya terjadi di daerah kita saja, tetapi akhir-akhir ini terjadi disembarang tempat. Di Jawa misalnya, sudah amat sering terjadi hal serupa. Beberapa tahun lalupun orang dihebohkan hal serupa terjadi di Amerika.
Kejadian “neneng” setelah menyantap makanan  produk segar terjadi di Amerika Serikat. Di negeri itu, orang yang sakit mengkonsumsi produk segar terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 terjadi rata-rata 100 kasus dan  meningkat menjadi lebih dari 200 kasus pada 2006. Kerugian karena masalah ini ditaksir mencapai lebih dari 100 juta dollar. Dilaporkan, andil dari beberapa jenis produksi pertanian segar di Amerika Serikat karena salah penanganan sehingga menimbul masalah bagi kesehatan adalah dari jenis buah-buahan 20,8 %, tomat 2,1 %, wortel 3,1 %, kubis 5,2  %, jenis kecambahan  9,4 %, selada 16,7 %  dan salad 35,4 %. Hal serupa dilaporkan juga terjadi di Eropa dan Asia.
Di Indonesia dilaporkan perlakuan yang dilakukan kepada tanaman penghasil produk segar telah tergolong amat berlebihan. Di samping penggunaan pestisida yang sudah kelewat batas ambang toleran, juga perlakuan untuk menghasilkan kualitas prima dilakukan secara bebas. Ada buah semangka untuk menghasilkan manis dan merah menyala disuntik dengan pewarna dan pemanis buatan. Ada  sayuran dan buah segar untuk mempertahankan penampilannya disemprot dengan pestisida beberapa saat sebelum dipanen. Untuk menghasilkan beras yang putih bening dan “bahenol” dioplos dengan chlorite serta ditambah bahan kimia pewangi. Produk daging dan ikan untuk mempertahankan kelenturannya sehingga tetap awet dan segar sepanjang hari diberi formalin, dan banyak lagi perlakuan yang lain sehingga mengancam keselamatan jiwa pengkonsumsinya.
Hasil pengamatan Prof. Ahmad Suleiman dari IPB Bogor, salah satu penyebab karena residu pestisida pada produk segar di Indinesia masih tergolong cukup tinggi. Produk segar yang banyak dijumpai residu pestisida adalah apel, pear, peach, anggur, kacang buncis, tomat, strobery, bayam, cabe, melon, selada, dan berbagai jenis buah-buahan yang biasa dijadikan jus. Walaupun hasil amatannya dijumpai pada beberapa jenis produk saja tetapi sangat diyakini produk segar lain juga mengandung residu yang sama.
Sayuran yang banyak dikonsumsi segar seperti selada, kubis, kemangi, pohpohan, tauge, kol, wortel dan kacang panjang, jika proses pasca panennya tidak baik disamping ada residu pestisida juga mengandung mikroba patogenik lain, misalnya  Echerichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella parathypi, atau Listeria. Tentu saja, gabungan kedua unsur pengganggu kesehatan itu menimbulkan masalah yang sangat serius. Jika serangan ringan hanya sekedar pusing, mual dan muntah, tetapi jika residunya berat tentu saja dapat membawa umur menjadi singkat. Pada kasus yang lain, jika residu menumpuk di dalam badan, muncul pula penyakit lain yang sangat ditakuti saat ini. Kangker misalnya. Bukankah kasus penyakit kangker ini terus muncul dan ada kecenderngan bertambah setiap tahun.
Pengawasan Makanan Segar
UU nomor 7 tahun 2006 dan PP nomor 28 tahun 2004 mengisyaratkan negara berkewajiban melindungi rakyat untuk mendapatkan makanan yang adil,  cukup, sehat dan aman. Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh bahan pangan yang cukup dan sehat. Karena cenderung saat ini bahan pangan kita banyak yang tidak sehat sehingga perlu ada pengawasan.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan olahan. Jadi untuk makanan segar pengawasannya tanggung jawab siapa?. Berdasarkan UU dan PP tadi pengawasan terhadap makanan segar merupakan tanggung jawab instansi teknis. Untuk makanan segar produk pertanian tanggung jawab instansi teknis dalam Departemen Pertanian. Karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, yang bertanggungjawab melakukan pengawasan terhadap produk pertanian segar adalah Badan Ketahanan Pangan (BKP) pusat, dan di daerah Aceh adalah Badan Ketahanan Pangan dan  Penyuluhan (BKP2).
Untuk kegiatan itu di Aceh ada beberapa hal yang harus segera dilakukan. Pertama, mengaktifkan lembaga pengawasan produk makanan segar. Sebagai cikalbakal dulu (tahun 2008) telah disusun draft Otorita Keamanan Konsumsi Pangan Daerah (OKKPD). Lembaga tersebut sesungguhnya sebagai cikal bakal pembentukan  UPTB Laboratorium Keamanan Pangan Daerah yang berada di bawah BKP2. Bangunan untuk gedung kantor sudah tersedia. Tapi sayang lembaga itu belum melakukan aktivitasnya sehingga pengawasan terhadap pangan kita masih belum terlaksana di Aceh. Kedua, menyiapkan tenaga analisis laboratorium yang memadai. Untuk menentukan kadar kandungan zat berhaya tidak dapat dilihat dengan mata, tentu harus melalui proses laboratorium. Dan itu tidak dapat dikira-kira saja. Ketiga, penyiapan alat-alat laboratorium yang cukup. Keempat, penentuan standar mutu produk pangan segar. Memang saat ini  Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan telah melakukan standarisasi mutu, dan dapat dipedomani dalam melakukan pengawasan produksi pangan segar daerah. Walaupun standarisasi mutu tersebut oleh sebahagian ahli dinyatakan belum menyentuh standar keamanan pangan karena standarisasi mutu yang ada cenderung pada kepuasan konsumen dan persaingan dalam perdagangan, tetapi seharusnya standar keamanan pangan lebih cenderung kepada basic pangan yaitu pangan harus aman dikonsumsi dan bebas dari zat berbahaya. Jika pengawasan itu dapat dijalankan maka seluruh produk segar yang dihasilkan dapat dikeluarkan “Sertifikat Aman”, yang dapat memperlancar pemasaran produk petani Aceh. Bukankah konsumen saat ini sudah mencari keamanan pangan dan pangan sehat. Setiap produk pertanian segar untuk ekspor harus dilengkapi sertifikat aman. Jika Aceh ingin mengekspor produk  pangannya, tentu pengawasan terhadap pangan yang aman menjadi sangat penting. Masih segar diingatan kita bahwa banyak kol yang diekspor ke singapura beberapa tahun yang lalu ditolak untuk dibongkar di pelabuhan, begitu juga ekspor udang rakyat yang ditolak di Jepang sehingga harus dibuang ke laut. Suatu pelajaran berharga yang harus disikapi secara bijak.
Jangan Sekedar Lepas Wajib
Masalah makanan segar yang kurang aman dan belum sehat merupakan ancaman bagi kesehatan. Residu pestisida, formalin, residu timbal, dan banyaknya kandungan jamur beracun dari golongan aflatoxin merupakan sebahagian dari ancaman itu. Lalu siapa yang seharusnya mengawasi sehingga makanan segar menjadi betul aman dan sehat? Diatas telah diungkapkan seharusnya BKP2 mengambil peran nyata dalam melakukan pengawasan tersebut. Tapi nyatanya langkah-langkah terhadap hal tersebut belum ada gerakan nyata. Pasalnya, boleh jadi perhatian terhadap perlunya melakukan pengawasan makanan segar belum dianggap penting. Atau sebaliknya, karena  tidak tahu bahwa pengawasan itu merupakan tupoksi BKP2 sehingga dianggap tidak perlu. Wallahua’lam. Tapi yang jelas, sistem kerja sebahagian pegawai kita hari ini kurang memiliki inisiatif dan melaksanakan tugas “sekedar melepaskan wajib” saja. Pola kinerja seperti ini tentu saja patokan bukan pada Tupoksi dan anggaran. Tugas pokok dan fungsi bisa jelas serta anggaran bisa banyak, tetapi hasil dari kegiatan yang dilakukan saban tahun tidak memberi pengaruh yang jelas. Bukankah sesungguhnya setiap kegiatan ukurannya didasarkan kepada masyarakat. Berapa besar manfaat dari setiap kegiatan itu. Bagaimana pula impact dan autcome nya. Masih banyak tolok ukur lain yang seharusnya diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan pada instansi pemerintah. Nyatanya dasar itu selalu diabaikan, sehingga dalam melaksanakan kegiatan hanya selepas wajib saja. Hasilnya ya... seperti inilah.
Untuk memudahkan pemasaran makanan segar dari produksi pertanian upaya kendali mutu dan pengawasan dari unsur bahaya sudah sangat patut dilakukan. Bukankah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat produk tani harus mampu dikelola pasar dan ekspor melalui daerah sendiri. Untuk mudahnya ekspor, negara tujuan mensyarakatkan adanya sertifikat aman dari zat berhahaya. Bukankah ini sangat penting. Di negara-negara maju jaminan terhadap keamanan pangan sangat menonjol. Di Eropa misalnya, ada Otoritas Keamanan Pangan yang diberi mandat mensahkan  setiap makanan segar hasil pertanian layak tidaknya untuk dikonsumsi. Kita disini boleh saja mengabaikan hal itu, konsekwensinya pemerintah dan masyarakat akan mengeluarkan biaya untuk berobat jauh lebih tinggi. Jika di Amerika Serikat mengeluarkan uang  karena makanan tidak sehat lebih dari 100 juta dollar, di negara kita berapa pula yang harus dikeluarkan untuk berobat dan lainnya karena makanan tidak sehat. Entahlah. (*).-


 Penulis adalah Praktisi dan pemerhati pembangunan pertanian, tinggal di Banda Aceh.