Penyuluhan
adalah upaya penyampaian informasi kepada masyarakat dalam rangka menambah
pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat mengubah prilakukan usaha dan jalan
hidup dari tidak menguntungkan ke usaha yang menguntungkan. Kegiatan ini disebut
berhasil jika prilaku masyarakat telah berubah dan pola kehidupannyapun telah
terjadi perubahan menuju kearah hidup yang lebih baik, tercukupi kebutuhan
dan dapat mendidik anak dan keluarganya secara lebih baik.
Penyuluhan dalam
banyak hal merupakan upaya mendidik masyarakat. Penyuluhan tergolong
pendidikan informal karena penyuluhan meruapakan sistem pendidikan yang
pembelajarannya lebih banyak kepada pengalaman dan tindakan nyata dalam
berusaha. Karena penyuluhan merupakan juga pendidikan, maka dalam
pelaksanaannya agar lebih berhasil, maka perlu diterapkan beberapa
macam pendekatan yang sering
digunakan dalam proses pembelajaran, antara lain:
1.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatarbelakang
bahwa audien
belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam
lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya
berorientasi target penguasaan
materi, yang akan gagal dalam membekali audien untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan
demikian proses pembelajaran lebih diutamakan dari pada hasil belajar,
sehingga penyuluh dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif
dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan peserta, bukan mengajar mereka.
Borko dan Putnam
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, penyuluh
memilih konteks pembelajaran yang tepat dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan
kehidupan nyata dan lingkungan di mana mereka
dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam
masyarakatnya.
Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan,
nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dan
dengan kehidupan sehari-hari. Dengan
memilih konteks secara tepat, maka peserta
dapat diarahkan kepada pemikiran agar tidak hanya
berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan usahanya saja, tetapi diajak
untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka
sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat
luas.
Dalam
Pendekatan kontekstual, tugas penyuluh adalah membantu peserta penyuluhan
dalam mencapai tujuannya.
Penyuluh lebih banyak berurusan
dengan strategi dari pada hanya memberi informasi. Penyuluh bertugas mengelola kegiatan penyuluhan
sebagai sebuah
tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru yang dapat berupa pengetahuan,
keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata penyuluh saja”.
Penggunaan
pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan
dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta
kreativitas dalam memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan mereka
sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman, misalnya melalui
pembelajaran kooperatif,
sehingga juga mengembangkan ketrampilan
sosial (social skills). Lebih lanjut Schaible, Klopher, dan Raghven,
dalam Joyce-Well (2000) menyatakan bahwa pendekatan
kontekstual melibatkan peserta penyuluhan
dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan mereka pada bidang
penelitian, membantu mereka
mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan
mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
2.
Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme
merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan
tidak dengan tiba-tiba (Suwarna, 2005). Menurut Caprio (1994),
McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)
kelebihan teori konstruktivisme ialah peserta penyuluhan berpeluang membina
pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran
terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan
pembelajaran terbaru.
Menurut
teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang
akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman
baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina
konsep dalam
struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
yang sedia ada (telah dimiliki)
padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu,
konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman
baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang
juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan
analogi, yaitu
berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich
(1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang telah ada pada seseorang dan
ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat
penting dalam proses pembelajaran karena belajar digalakkan
membina konsep sendiri dengan menghubungkan hal
yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah
dimiliki mereka. Dalam proses ini, peserta penyuluhan dapat meningkatkan pemahaman
mereka tentang sesuatu hal yang bisa
langsung terkait dengan kegiatannya.
Kajian
Sharan dan Sachar (dalam Sushkin, 1999),
membuktikan sekelompok
orang yang diajar menggunakan
pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan
signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan
tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel
(2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahwa pendekatan
konstruktivisme dapat membantu orang untuk mendapatkan
pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
3.
Pendekatan Deduktif –
Induktif
a.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan
deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada
bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran
akan berlangsung dengan baik bila peserta
telah mengetahui wilayah
persoalannya dan konsep dasarnya (Suwarna, 2005).
b.
Pendekatan Induktif
Ciri
utama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun
konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan
data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi di lingkungan.
Prince
dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan
deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang
sains dan teknologi dijumpai upaya mencoba
pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan
teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan
pengetahuan utama peserta penyuluhan,
dan kurang bahkan amat sedikit yang
mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif
menekankan pada penyuluh kemampuan
mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam
Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian di bidang psikologi dan
neurologi. Temuannya adalah: ”All new
learning involves transfer of information based on previous learning”,
artinya, semua pembelajaran baru melibatkan
transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.
Major
(2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi
atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran:
(1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip
contoh dikerjakan peserta
dengan maksud untuk menguji pemahaman mereka tentang definisi yang
disampaikan.
Alternatif
pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan
pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya, pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran berbasis proyek,
pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan
induktif dimulai dengan melakukan pengamati
terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau
memberi masalah konstekstual. Peserta dibimbing memahami
konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan mereka sendiri.
Major
(2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan
konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberkan contoh-contoh atau
kasus-khusus menuju konsep
atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan
yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Para peserta tidak harus
memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi
tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam
fase pendekatan induktif-deduktif ini peserta
diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994) menyatakan ada dua kategori
yang dapat dipakai dalam membahas
materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya informasi ketera,mpilan yang berkaitan dengan
perhitungan bersifat deduktif. Perhitungan yang cenderung menerapkan ilmu pasti (Matematika) sebagai “ilmu” hanya
diterima pola pikir
deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal
dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat
khusus” (Soedjadi 2000). Dalam
kegiatan memecahkan masalah peserta
dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir
deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.
4. Pendekatan
Konsep dan Proses
a.
Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konsep berarti peserta
penyuluhan dibimbing memahami suatu bahasan
melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam
proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan sub konsep yang menjadi
fokus. Dengan beberapa metode para peserta dibimbing untuk memahami konsep.
b.
Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama
pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan para peserta penyuluhan
dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan,
menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan
dikembangkan sejak perencanaan
pelaksanaan penyuluhan dilakukan. Penggunaan
pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung
peserta penyuluhan
dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan
proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses
yang berlangsung dalam pelaksanaan penyuluhan. Pertama, Proses Mengalami.
Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi peserta didik. Dengan
proses mengalami, maka pendidikan
akan menjadi bagian integral
dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman yang disodorkan untuk
diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri. Dengan demikian,
pendidikan akan terjadi proses penerimaan
informasi dalam diri peserta dalam setiap proses yang
dialaminya.
Kedua,
Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat
(STM) dan Penambahan Pengetahuan
Melalui Pengalaman. National Science
Teachers Association (NSTA, 1990), memandang
STM sebagai the teaching and learning of science in thecontext of human
experience. STM dipandang sebagai proses
pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan
konteks pengalaman
manusia. Dalam pendekatan ini peserta
diajak untuk meningkatakan kreativitas,
sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari. Definisi lain tentang
STM dikemukakan oleh PENN
STATE (2006)
bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the
widespread realization that in order to meet the increasingdemands of a
technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan
demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah diselenggarakan dengan cara
mengintegrasikan berbagai disiplin
(ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yang terjadi di antara
sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap
hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan
teknologi terhadap hubungan-hubungan
tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan pembelajaran di era sekarang
ini.
Pandangan
tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006), bahwa STM merupakan an
interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways
that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how
such factors shape science and technology. STM
dengan demikian adalah sebuah
pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi
masuk dan mengubah
proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi
perkembangan sains dan
teknologi.
Hasil penelitian dari
National Science Teacher Association/NSTA (dalam Poedjiadi, 2000)
menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan
jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan
dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan
konsep pengetahuan. Melalui
pendekatan STM ini penyuluh atau guru
dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima peserta akan lebih lama
diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup
juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah
yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah
– langkah ilmiah dan logis serta
praktis. (Eshar) (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar