Minggu, 01 September 2013

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENYULUHAN

                                                            
               Penyuluhan adalah upaya penyampaian informasi kepada masyarakat dalam rang­ka me­nam­bah pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat mengubah prilakukan usaha dan jalan hidup dari tidak menguntungkan ke usaha yang menguntungkan. Kegiatan ini di­se­but berhasil jika prilaku masyarakat telah berubah dan pola kehidupannyapun telah ter­ja­di perubahan menuju kearah hidup yang lebih baik, tercukupi kebutuhan dan dapat mendi­dik anak dan keluarganya secara lebih baik.
Penyuluhan dalam banyak hal merupakan upaya mendidik masyarakat. Penyu­luh­an tergolong pendidikan informal karena penyuluhan meruapakan sistem pendidikan yang pembelajarannya lebih banyak kepada pengalaman dan tindakan nyata dalam berusaha. Karena penyuluhan meru­pakan juga pendidikan, maka dalam pelaksanaannya agar lebih ber­hasil, maka perlu diterapkan beberapa macam pendekatan yang sering digunakan dalam proses  pembelajaran, antara lain:
1.        Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatarbelakang bahwa audien belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya se­ke­dar me­ngetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi tar­get pe­ngu­a­saan materi, yang akan gagal dalam membekali audien untuk memecahkan masalah da­lam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan dari pada hasil belajar, sehingga penyuluh dituntut untuk merencanakan strategi pembe­lajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan peserta, bukan me­nga­jar mereka.
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, pe­nyuluh memilih konteks pembelajaran yang tepat dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana mereka dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya. Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keteram­pi­lan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dan de­ngan ke­hidupan sehari-hari. Dengan memilih konteks secara tepat, maka peserta dapat dia­rah­kan kepada pemikiran agar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di ling­kung­an usahanya saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi da­lam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan ma­sya­rakat luas.
Dalam Pendekatan kontekstual, tugas penyuluh adalah membantu peserta penyuluhan da­lam mencapai tujuannya. Penyuluh lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada ha­nya memberi informasi. Penyuluh bertugas mengelola kegiatan penyuluhan sebagai sebu­ah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru yang da­pat beru­pa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata pe­nyuluh saja”.
Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk me­ngem­bang­kan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengem­bang­kan sikap, nilai, serta kreativitas dalam memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan ke­­hidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman, misalnya melalui pem­belajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan sosial (social skills). Lebih lanjut Schaible, Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000) menya­ta­kan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan peserta penyuluhan dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan mereka pada bidang penelitian, mem­ban­tu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bi­dang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
2.        Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bah­wa pen­dekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas mela­lui kon­teks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba (Suwarna, 2005). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)  kelebihan teori konstruktivisme ialah pe­ser­ta penyuluhan berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh an­tara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu di­kaitkan dengan pembelajaran terbaru.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep da­lam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada (telah dimiliki) padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, yaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang telah ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran karena belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki mereka. Dalam proses ini, peserta penyuluhan da­pat me­ningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu hal yang bisa langsung terkait de­ngan kegiatannya.
Kajian Sharan dan Sachar (dalam Sushkin, 1999), membuktikan sekelompok orang yang di­ajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahwa pendekatan konstruk­ti­vis­me dapat membantu orang untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.

3.        Pendekatan Deduktif – Induktif

a.    Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemi­kir­an bah­wa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila peserta telah me­nge­ta­hui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya (Suwarna, 2005).

b.    Pendekatan Induktif
Ciri utama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan da­­ta untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digu­na­kan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi di lingkungan.
Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembe­la­ja­ran de­ngan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke pene­ra­pan teori. Di bidang sains dan teknologi dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit mem­perhatikan pengetahuan utama peserta penyuluhan, dan kurang bahkan amat sedikit yang mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif me­nekankan pada penyuluh kemampuan mentransfer informasi atau penge­ta­hu­an. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian di bidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya, semua pembe­la­jaran baru melibatkan transfer infor­ma­si berbasis pem­belajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif di­mu­lai de­ngan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argu­men logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan peserta dengan maksud untuk meng­­u­ji pema­haman mereka tentang definisi yang disampaikan.
Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan de­duktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pende­katan induktif misalnya, pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembela­jar­an berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran pene­muan. Pembela­jaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan peng­amati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah kons­tekstual. Peserta dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur ber­dasar pengamatan mereka sendiri.
Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efek­tif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan member­kan contoh-contoh atau kasus-khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa mela­ku­kan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau gera­lisasi. Para peserta tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini peserta diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam mem­bahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya in­for­masi ketera,mpilan yang berkaitan dengan perhitungan bersifat deduktif. Per­hitungan yang cenderung menerapkan ilmu pasti (Matematika) sebagai “ilmu” hanya di­terima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pe­mi­kiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” (Soedjadi 2000). Dalam kegiatan memecahkan masalah peserta dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir in­duk­tif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.

4.      Pendekatan Konsep dan Proses
a.         Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti peserta penyulu­han dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang ter­kan­dung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan sub konsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode para peserta dibim­bing untuk me­ma­hami konsep.
b.        Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan ke­mam­puan para peserta penyuluhan dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhi­potesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keteram­pil­an proses digunakan dan dikembangkan sejak perencanaan pelaksanaan penyuluhan di­la­kukan. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan lang­sung peserta penyuluhan dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipe­gang pada setiap proses yang berlangsung dalam pelaksanaan penyuluhan. Pertama, Proses Meng­alami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu peng­a­la­man pribadi bagi peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sen­diri. Dengan demikian, pendidikan akan terjadi proses pene­rimaan informasi dalam diri peserta dalam setiap proses yang dialaminya.
Kedua, Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) dan Penambahan Penge­ta­huan Melalui Pengalaman. National Science Teachers Association (NSTA, 1990),  memandang STM sebagai the teaching and learning of science in thecon­text of human experience. STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang se­nan­tiasa sesuai dengan konteks penga­laman manusia. Dalam pendekatan ini pe­ser­ta diajak untuk meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains dalam kehidupan sehari-hari. Definisi lain tentang STM dike­mu­kakan oleh PENN STATE (2006) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach whichreflects the widespread realization that in order to meet the incre­asingdemands of a technical society, education must integrate acrossdisciplines. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan STM haruslah diseleng­ga­ra­kan de­ngan cara mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam rangka mema­ha­mi berbagai hu­bung­an yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan ba­gai­ma­na pengaruh sains dan teknologi terhadap hubung­an-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan pem­belajaran di era sekarang ini.
Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006), bahwa STM me­ru­pakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a under­stand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengan de­mi­kian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui ba­gai­ma­na sains dan teknologi masuk dan mengubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi per­kem­bangan sains dan teknologi.
Hasil penelitian dari National Science Teacher Association/NSTA (dalam Poe­djiadi, 2000) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pende­katan STM mempu­nyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, krea­ti­vi­tas, sikap, proses, dan konsep penge­ta­huan. Melalui pendekatan STM ini penyu­luh atau guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima peserta akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pen­de­katan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pe­me­ca­han­nya menggunakan langkah – langkah ilmiah dan logis serta praktis. (Eshar) (*)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar