Selasa, 03 Juli 2012

PROFIL


Oleh:  ESHAR

Suatu hari pada bulan  Jumadil Awwal  1384 H  atau  21 Nopember 1963 M, bertempat di Balai Drah umum (ruang pertemuan dan tempat pengajian) Dayah MIMBARIYAH yang terletak di pekarangan mesjid Mukhlisin desa Krueng Batee Kecamatan Kuala Batee Aceh Selatan (waktu itu belum terjadi pemekaran kabupaten Aceh Barat Daya) terjadi pembicaraan serius antara Abuya Tgk Syech H. Abdul Hamid Kamal (lahir di Meukek Aceh Selatan tahun 1928 dan wafat di Blangpidie Aceh Barat Daya tanggal 21 Agustus 1980) dengan beberapa tokoh masyarakat di desa itu. Hadir dalam pertemuan tersebut Mukim Mohd. Diwa. Tgk.  M. Syadin Ali, Toke Mae, Nek Sida Mak Sae, toke Idi, Polem Mak Ali, Sida Mak Amin, Abi Alue Pisang, Tgk. Uma Alue Pisang  dan banyak lagi yang lainnya.  Materi pokok pembicaraan adalah membahas kondisi Dayah yang saat itu terasa sudah sangat sempit dan sudah tidak mampu menampung santri yang jumlahnya terus bertambah. Hasil pembicaraan mengemuka bahwa perlu membuka Dayah baru ditempat lain. Dan, sebahagian peserta mengusulkan agar perlu dibuka Dayah baru di lokasi SUAK DUGO, suatu tanah lokasi payau seluas lebih kurang 2 hektar yang sudah ditinggal lama dan telah ditumbuhi semak gelagah (bak rabo) dan dalam bentuk payau yang digenangi air. Lokasi tersebut oleh sebahagian orang mengenalnya sebagai lokasi angker, tempat “jen boh aneuk”, dan banyak dihuni oleh binatang melata. Bahkan lebih parah lagi dari itu, orang menggelar lokasi itu sebagai “tempat raja timoh”. Walaupun telah diusulkan pembukaan Dayah di lokasi tersebut, tetapi banyak pula orang yang menyatakan ketidak setujuannya karena dinilai lokasi tersebut tidak layak untuk dijadikan lokasi dayah. Oleh karena itu, hasil pertemuan terbatas tersebut perlu dibawa kedalam pertemuan yang lebih luas yang akan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari 5 desa dalam kemukiman Krueng Batee yaitu desa Alue Pisang, Krueng Batee, Lhok Gajah, Ie Mameh, dan Ingin Jaya. Dan disepakati pula bahwa pertemuan akan dibuat pada hari Kamis tanggal 15 Jamaddil Awwal 1384 H. atau 27 Nopember  1963.
Pertemuan yang dihadiri oleh berbagai kalangan termasuk pemilik tanah Suak Dugo juga belum dapat menetapkan keputusan dimana lokasi dayah akan dibangun, akhirnya merka sepakat untuk mengembalikan persoalan lokasi dan mengambil keputusan terhadap lokasi pengembangan dayah kepada Abuya Tgk. Syech H. Abdul Hamid Kamal. Boleh jadi setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Beliau memutuskan bahwa pengembangan Dayah Mimbariyah akan dilakukan dengan menempati lokasi “Suak Dugo” serta memberi nama dayah yang akan dibangun dengan nama DAYAH RAUDHATUL ULUM dan selanjutnya oleh masyarakat disebut dengan nama Dayah Raudhah. Keputusan itu disambut baik oleh peserta yang hadir dan pemiliki tanah. Pihak pemiliki tanah menyatakan dengan tegas bahwa mewaqafkan tanahnya tersebut  kepada Abuya Tgk. Syech. H. Abdul Hamid Kamal dan selanjutnya dijadikan lokasi pesantren. Saat itu juga peserta pertemuan menyatakan akan melakukan pembukaan lahan secara bergotong royong serta melakukan pengurukan/­menimbun lokasi sehingga dapat digunakan sebagai lokasi Dayah. Kekompakan masyarakat laki-laki dan perempuan untuk membuka dan menambak/mengguruk lokasi dayah sangat baik sehingga dalam waktu yang tidak lama lokasi yang semula dianggap angker dan sebagai sarang binatang melata dan tempat raja timoh segera dapat dibuka dan dapat dijadikan lokasi Dayah Raudhatul Ulum.
Pada 15 Syawwal 1385 H  atau 4 April 1964 M, dilakukan peresmian Dayah Raudhatul Ulum dan untuk tahap awal santrinya sebahagian merupakan pindahan dari dayah Mimbariyah. Dayah Raudhatul Ulum berkembang pesat dan santrinya terus bertambah. Beberapa tahun kemudian  jumlah santri Dayah Raudhatul Ulum tercatat lebih dari seribu orang.
Dayah Raudhatul Ulum lebih cepat dikenal orang karena dayah ini dipimpin oleh Abuya Tgk. Syech. H. Abdul Hamid Kamal yang memimpin juga Dayah Mimbariyah di desa Krueng Batee yang dibuka sejak tahun 1948 serta memimpin Pesantren Bustanul Huda di Blangpidie yang telah melahirkan banyak ulama dan alumninya menyebar ke seluruh Aceh. Perlu dijelaskan bahwa Pesantren Bustanul Huda merupakan pesantren tertua di pantai barat Aceh (dibangun tahun 1926) yang didirikan oleh Tgk. Syech. T. Mahmud seorang ulama sufi yang telah mendidik ribuan santri dan sebahagian besar ulama di Aceh termasuk Abuya. Karena dukungan dari Alumni ini, maka Dayah Raudhatul Ulum menerima  santri yang relatif pesat. Santri Dayah ini sejak awal berasal dari  berbagai pelosok daerah, sebahagian besar berasal dari Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Aceh Besar. Disamping itu juga banyak pula santri dari Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur (sebelum kabupaten tersebut dimekarkan dengan  terbentuk beberapa kabupaten baru). Tidak asing juga banyak santri dari Aceh Tengah  yang dulu masih mencakup Alas (kuta cane dan gayo luaes). Dalam perkembangannya tidak jarang datang pula santri dari Sulaweisi, Kalimantan dan Sumatera Utara.
Santri-santri di Dayah Raudhatul Ulum saat itu belajar secara salafiyah, belajar kitab kuning (mulai dari mempelajari kita jarumiyah sampai mahally, tuhfah dan al ‘um). Pada saat itu, para santri diberi pelajaran secara intensif tentang nahu, saraf, dan fiqah mulai dari tingkat dasar (ibtidaiyah dan tsanawiyah) sampai tinggi (a’liyah dan a’la).
Pada saat itu, jadwal pengajarannya sangat ketat. Umumnya santri sudah mulai belajar  sejak setelah shalat subuh dan berakhir pukul 8.30 wib pagi. Selanjutnya dimulai kembali pukul 10.00 wib dan berakhir pukul 12.00 siang. Dan  berikutnya jadwal belajar dimulai pikul 14.00 wib dan berakhir 16.00 wib sore. Dan terakhir pengajian malam dimulai setelah magrib atau isya (19.30 atau 20.00 dan berakhir pukul 22.00 atau 23.00 wib malam). Jadwal belajar tersebut berlangsung setiap hari dengan mata ajaran pada setiap jadwal yang berbeda. Umumnya, jadwal pagi hari sampai siang diajarkan nahu dan saraf, sedangkan jadwal petang, sore dan malam umumnya materi fiqah, tafsir alquran dan hadist. Pada malam Jum’at, santri membaca Dalail khairat dan selanjutnya dilakukan muzakarah dan belajar pidato. Jadwal seperti itu  saat ini oleh sebahagian orang dinilai tergolong berat bagi santri, tetapi dengan pola belajar seperti itu Dayah Raudhatul Ulum, juga Dayah sebelumnya Mimbariyah dan Bustanul Huda mampu mendidik santri untuk memahami materi pelajaran secara mendalam dan mampu mengajarkan pula kepada anak didiknya di daerah asal. Banyak pula santri dari Dayah ini yang membuka pula dayah di daerah asalnya.
Petir disiang hari  21 Agustus 1980.
Sejak tahun 1966 sampai dengan 1980, dayah Raudhatul Ulum berjalan normal, sistem belajar mengajarnyapun berlangsung secara intensif. Melalui aktifitas itu telah banyak menghasilkan  lulusan terbaik dan telah menjadi ulama di daerah asalnya atau ditempat lain. Memang harus diakui, tidak seluruh alumni Raudhatul Ulum menjadi ulama, teungku atau imum ditempat mereka tinggal. Banyak pula diantara mereka  yang mengembangkan diri dalam bidang lain. Ada yang melanjutkan pendidikannya kembali ke perguruan tinggi baik di Aceh maupun di luar Aceh sehingga menjadi birokrat atau sebagai pengajar diberbagai lembaga pendidikan formal. Dan banyak pula yang mengembangkan diri dalam bidang lain misalnya bisnis (mulai dari kios kecil, toko. Sampai bisnis menengah), pengembangkan industri, transportasi, dan tidak sedikit pula sebagai petani. Apapun kegiatan yang dilakukan oleh alumni dayah Mimbariyah dan Dayah Raudhatul Ulum, yang penting mereka telah memiliki pengetahuan yang cukup dalam mengamalkan agamanya dalam kehidupan. Makanya tidak jarang walupun bukan ulama tetapi mereka menjadi tokoh di desanya dan menjadi imam bagi masyarakatnya.
Pada tahun 1980, kesehatan Abuya Tgk. Syech Haji Abdul Hamid Kamal menurun drastis. Beliau disamping mengidap gula darah dan asam urat, juga didiagnose menderita gangguan kelenjar getah bening. Walaupun pada awal tahun 1980, abuya telah dirawat di RSU Zainul Abidin (saat itu masih di Kuta Alam)  dan penyakitnya telah berkurang dan beliau nampak sehat, tetapi sekembali beliau ke Blangpidie (tempat tinggal beliau di satu kota di Aceh Selatan saat itu, dan sekarang setelah pemekaran Blangpidie merupakan Ibukota Aceh Barat Daya berjarak 368 km dari Banda Aceh) dengan menempuh jalan darat, yang saat itu kondisi jalan dipantai barat Aceh sangat rusak, jalan mirip kubangan dan harus pula mengarungi 10 buah rakit sehingga perjalanan yang ditempuh sangat melelahkan, maka abuya setiba di Blangpidie beberapa minggu kemudian sakit kembali. Karena transportasi saat itu sangat sulit dan tidak memungkinkan untuk dibawa kembali ke Banda Aceh, maka beliau dirawat oleh Dokter Umum dari Puskesmas Blangpidie.
Akhirnya Allah berkehendak lain, ketentuan telah ditetapkan bahwa Abuya harus kembali kepada Allah. Pada pukul 10.30 Wib pagi, hari Senin tanggal 21 Agustus 1980 bertepatan dengan 15 Syawwal 1401 H. Abuya menghadap Allah dirumah beliau di Blangpidie didampingi keluarga dan murid-murid beliau.
Fase ini merupakan fase terberat dihadapi Dayah Raudhatul Ulum. Wafatnya Abuya seperti padamnya lampu di Dayah. Masa berkabung itu sangat terasa dalam waktu yang cukup lama, karena anak-anak beliau masih dalam pendidikan dan belajar di perguruan tinggi di Banda Aceh dan Sumatera Utara. Wafatnya Abuya bagi masyarakat dan murid-muridnya seperti guntur keras disiang hari. Kedaan itu harus dilalui. Dan tentu saja keadaan itu harus diatasi, bagaimanapun caranya.
Hikmah Perbedaan
Pada 21 Agustus Siang setelah Abuya wafat, terjadi pembicaraan yang sangat intensif. Di mana abuya dikebumikan. Masyarakat Blangpidie dan keluarga menginginkan bahwa abuya dikebumikan di Blangpidie di samping makam guru beliau Tgk. Syech T. Mahmud yang sekaligus pula sebagai mertua beliau. Akan tetapi masyarakat Krueng Batee serta murid-murid beliau menginginkan Abuya dikebumikan di Dayah Raudhatul Ulum. Perbedaan pendapat tersebut telah menciptakan ketegangan psikologis yang harus diatasi secara bijak. Keluarga saat itu dihadapkan pada pilihan yang rumit. Satu sisi jasad Abuya harus segera dikebumikan, untuk mengamalkan apa yang disunnahkan Rasul yaitu “percepatlah pelaksanaan dalam tiga hal yaitu: jika sesorang datang padamu menyatakan ingin beriman maka segerakanlah syahadatkan ia, jika anda memiliki anak perempuan yang telah cukup umurnya dan telah ada calon suaminya yang layak, maka segerakanlah nikahkan mereka, dan jika seseorang meninggal dunia segerakanlah kebumikannya agar ia dapat segera menerima janji Allah” (Hadist). Tetapi dalam kasus wafatnya Abuya dan di mana beliau dikebumikan, silang pendapat yang terjadi harus segera diatasi. Harus dinyatakan bahwa posisi keluarga sangat berat saat itu karena di sisi lain harus mengambil kebijakan yang arif di mana tempat jasad beliau dikebumikan, di Blangpidie atau di Raudhatul Ulum. Dalam keadaan sulit seperti itu datang seorang murid beliau menyampaikan beberapa wasiat Abuya dan diantaranya adalah tempat penguburan beliau. Wasiat itu juga sebenarnya telah disampaikan kepada Hajjah Umi Cut Ridhwan Mahmud istri beliau, tetapi karena umi saat itu dalam keadaan sangat berduka tidak seorangpun mampu bertanya. Sesungguhnya wasiat yang disampaikan Abuya tersebut adalah terkait tentang Dayah Raudhatul Ulum bukan tentang kematian beliau.
Diantara banyak wasiat beliau yang disampaikan kepada murid-muridnya dan keluarga yang berhubungan dengan kematian adalah wasiat beliau tentang Dayah Raudhatul Ulum. Isi wasiat itu adalah. Pertama, Dayah Raudhatul Ulum perlu dihidupkan dengan baik, lakukan upaya memajukan Dayah itu secara baik. Jika anak-anak beliau tidak dapat mengajar di Raudhatul ulum, maka panggil orang yang mampu mengajar sehingga Raudhatul Ulum tetap dapat berperan dan berfungsi sebagai lembaga pendidik umat. Kedua, jangan seorangpun diantara anak-anak beliau dan guru membuat rumah di lokasi Dayah Raudhatul Ulum, karena jika itu yang dilakukan maka Dayah Raudhatul Ulum nanti tidak akan jadi Dayah lagi tetapi akan jadi komplek perumahan. Jika anak-anak dan guru  mau membuat rumah tempat tinggal mengambil lokasi di luar dayah, jika dayah mampu dari segi keuangan perlu dilakukan pengadaan tanah yang dikhususkan untuk membangun perumahan guru. KeTiga, di lokasi Dayah Raudhatul Ulum tidak dikuburkan seorangpun termasuk beliau. Jika di komplek dayah dilakukan penguburan maka lama-lama  dayah Raudhatul ulum akan menjadi komplek perkuburan.
Setelah mendapatkan wasiat seperti itu dan oleh Umi pun menyatakan bahwa wasiat itu juga pernah disampaikan kepada beliau, maka perbedaan pendapat itu segera mereda dan langkah penguburan Abuya segera diambil. Malam hari jasad Abuya dikuburkan di samping kuburan guru dan mertua  beliau Tgk. Syech T. Mahmud yang wafat pada tahun 1964. Makam kedua ulama shaleh tersebut terletak di pekarangan/depan rumah beliau di bawah bangunan qubah yang dibangun masyarakat. Letak makam ulama ini sekitar 50 m dari mesjid Jamik Agung Baitul Adhim Blangpidie dan sampai hari ini banyak diziarahi masyarakat dari berbagai daerah terutama murid-murid beliau.
Silih berganti
Sejak Abuya wafat sampai satu tahun kemudian proses ajar mengajar di Dayah Raudhatul Ulum tetap berjalan seperti biasa. Akan tetapi pembelajaran melalui tatap muka antara seluruh santri dengan Abuya yang telah rutin dilakukan setiap malam Rabu tidak ada lagi, dan demikian juga santri senior yang belajarnya langsung kepada Abuya menjadi terhenti. Masalah santri senior ini merupakan masalah besar yang dihadapi Dayah Raudhatul Ulum saat itu. Santri senior bagaimanapun harus belajar dan harus mendapatkan ilmu yang cukup. Mereka tidak mungkin  pembelajarannya terhenti tanpa mendapat ijazah dari lembaga Dayah. Umumnya, dalam kalangan Dayah tradisional di Aceh penyampaian ijazah dilakukan oleh Abuya sebagai pimpinan Dayah. Ijazah akan dikeluarkan setelah yang bersangkutan diuji dan dilakukan penilaian secara seksama. Umumnya santri yang telah diberi ijazah akhir tersebut, telah dinilai kemampuannya sehingga mereka dapat membuka Dayah pula di daerahnya.  Santri seperti inilah biasanya akan menjadi ulama di daerahnya.
Santri-santri senior tersebut tidak mungkin bertahan dalam waktu yang lama tanpa ada tempat untuk menambah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mereka pindah ke Dayah lain. Dan, inilah problem besar yang dihadapi Dayah Raudhatul Ulum. Jamak diketahui bahwa sistem pengajaran di lembaga Dayah di Aceh, santri-santri senior mengajar pula santri di bawahnya, sehingga seluruh santri senior yang dianggap mampu mengambil “drah” (kelas) untuk mengajarkan santri-santri di bawahnya. Sistem ini memberi keuntungan yang besar bagi santri senior itu sendiri. Melalui mengajar tersebut sesungguhnya merupakan ajang pemantapan pengetahuan yang dimiliki. Makin intensif ia mengajar makin mendalam ilmu yang dimiliki. Dan, sistem pendidikan seperti inilah menghasilkan lulusan yang mampu mengajar dengan baik dan sekaligus menjadi ulama.
Untuk menghindari stagnasi sistem pengajaran di dayah Raudhatul Ulum, pimpinan umum dan pengurus Dayah segera mencari guru yang mampu mengajarkan santri senior dan memimpin sistem pengajaran. Untuk itu Tgk. Zoel Helmi Haridhy, Tgk. Silman Haridhy dan Tgk Musfiari Haridhy sebagai pewaris Dayah Raudhatul Ulum menggelar Rapat dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mencari tenaga pengajar Dayah Raudhatul Ulum. Banyak nama diusulkan oleh berbagai pihak, dan rapat memutuskan untuk menetapkan Tgk. Baihaqi Daud sebagai pimpinan dewan guru Dayah. Tgk Baihaqi Daud saat itu masih berada di Singkil. Pada bulan Maret 1983 ditugaskan Tgk Baihaqi Daud sebagai pimpinan dewan guru di dayah tersebut. Tgk. Baihaqi Daud bertugas di Dayah Raudhatul Ulum sampai tahun 1988. Selanjutnya pimpinan dewan guru ditugaskan pula Tgk. Thaharudin Bahar. Selama kepemimpinan Tgk. Thaharuddin Dayah Rauhatul Ulum mengalami beberapa hal. Terjadi kemajuan sistem pengajaran sehingga bertambahnya santri dengan datangnya santri dalam jumlah yang cukup memadai dari berbagai penjuru daerah. Di samping itu juga, karena kepemimpinan beliau relatif eksklusif maka sering terjadi konflik dengan berbagai pihak. Konflik internal terjadi dengan mantan Teungku pimpinan dewan guru Raudhatul ulum. Konflik ini dinilai cenderung mengarah ke konflik pribadi dan mengarah kepada kepentingan politik dan pengaruh. Kedaan ini segera harus diatasi, walupun tidak mudah karena keadaan ketidakpaduan antar kelompok tersebut terus terjadi dalam waktu yang cukup lama. Konflik yang terjadi tersebut akhirnya secara lambat laun meredup.
Masalah besar
Sebagaimana telah diuraikan pada bahagian terdahulu, dayah Raudhatul Ulum merupakan pecahan dan kelanjutan dari Dayah Mimbariyah. Dayah Raudhatul Ulum dan Dayah Mimbariyah hanya berjarak sekitar satu kilometer. Antara kedua lembaga pendidikan ini sepeningal Abuya masing-masing dijalankan oleh dewan guru secara terpisah, walaupun demikian, antara kedua dayah ini dewan gurunya saling membantu. Setelah dayah Raudhatul Ulum  berkembang pesat, maka relatif mengarahkan santri untuk mendalami kitab-kitab salafiah, sedangkan dayah Mimbariyah cenderung diarahkan untuk mengajarkan alquran kepada anak-anak (makhraj dan tajwij) dan mengajar kitab-kitab rendah seperti jarumiyah, matanbina dan mukhtasar serta kitab-kitab fiqih dasar. Satu hal yang dikembangkan di dayah Mimbariyah adalah membuka pengajian rutin kepada masyarakat dengan mengambil kitab telaahan berbahasa jawo/bahasa arab jawi. Pola ini memang dikembangkan oleh Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal. Murid-murid lepasan dayah Mimbariyah melanjutkan pendidikannya ke Dayah Raudhatul Ulum. Ringkasnya, Mimbariyah mengembangkan pendidikan kelas ibtidaiyah di samping kelas yang dibuka untuk mesyarakat, sedangkan Dayah Raudhatul Ulum walaupun tetap membuka juga kelas Ibtidaiyah akan tetapi lebih cenderung difokuskan pada kelas  tsanawiyah dan aliayah.
Selama kurun waktu 1996 sampai 2003, sesungguhnya sistem pengajaran di dayah tersebut sudah berjalan dengan baik. Pembangunan berbagai seranapun berlangsung. Jika dulu dayah ini hanya menampung santri pria, tetapi dalam kurun waktu itu juga dibuka kelas untuk santri putri dan telah dibangun asrama khusus pula untuk santri putri. Pada masa itu pula telah dibuka program “Suluk” yaitu pelaksanaan ibadah secara khusus dan mengarah ke tasauf.  Program suluk tersebut di dayah Raudhatul ulum dibuka untuk 10, 30, dan 40 hari yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah baik di Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh Barat. Untuk memberikan kenyamanan pelaksanaan program ibadah tersebut telah dibangun pula asrama khusus, sehingga pelaksanaan ibadah ini tidak terganggu dengan pelaksanaan pendidikan dan kegiatan santri atau sebaliknya.
Akan tetapi dalam kepesatan pelaksanaan pendidikan dayah Raudhatul ulum, muncul masalah lain yang tergolong “sangat berat” saat itu, yaitu Teungku Thaharuddin sebagai pimpinan dewan guru ikut berpolitik praktis. Tanpa pembicaraan dan pemberitahuan dengan pimpinan umum dayah dan pengurus dayah Raudhatul Ulum, Tgk. Thaharuddin yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Thaha terlibat secara tidak langsung dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Walaupun pihak ABRI/TNI dan kepolisian telah mencurigai Abu Thaha terlibat sejak lama, karena beliau ada di dalam komplek Dayah Raudhatul Ulum, maka beliau tidak digrebeg dan tidak diambil.  Menurut catatan pihak keamanan selama kurun waktu 2002 sampai dengan 2003, Abu thaha banyak melakukan kegiatan yang terkait dengan kegiatan  gerakan perjuangan dan banyak menampung berbagai pihak untuk menginap dan melakukan kegiatan di dalam dayah. Akumulasi kegiatan tersebut telah menjadi “ cacatan merah” bagi aparat keamanan dan suatu saat ke depan akan diambil tindakan tegas.
Saat itupun tiba. Pemerintahan Megawati mencanangkan Darurat Militer di Aceh. Untuk Aceh telah terjadi penambahan kekuatan tempur dan kepolisian secara significant, sehingga aparat TNI dan aparat polisi dilakukan penambahan secara cukup besar. Beberapa hari setelah penerapan Darurat Meliter di Aceh, Abu Thahapun ditangkap dan diproses hukum di Tapak Tuan, sedangkan seluruh santri Dayah Raudhatul Ulum dilakukan pembinaan dan dipusatkan di lapangan Persada Blangpidie (sebuah lapangan bola yang terletak di kota Blangpidie). Mulai saat itulah aktifitas ajar mengajar terhenti kembali di Dayah Raudhatul Ulum. Terhentinya kegiatan ajar mengajar dayah Raudhatul Ulum kali ini benar-benar berada pada titik kulminasi. Keadaan tersebut menyebabkan dayah Raudhatul Ulum berada dalam keadaan “pingsan” bahkan lebih berat lagi yaitu “koma”. Santri yang dulunya belajar di dayah Raudhatul Ulum setelah selesai pemusatan dan pembinaan mereka dipulangkan dan harus kembali ke daerah asalnya masing-masing. Tinggallah Dayah Raudhatul ulum sendiri dalam keadaan kosong, sunyi dan sepi. Dan, setelah saat itulah seluruh fasilitas yang dimiliki lenyap, bangunan asrama santri rusak bahkan ada yang ambruk. Beberapa pompa air, alat pengeras suara, jaringan listrik, dan berbagai fasilitas lainnya lenyap.  Penyebabnya ......  wallahu a’lam.
Setelah era itu, dayah Raudhatul Ulum kembali lagi ke bentuk Nol, tidak memiliki apa-apa lagi. Yang ada hanya satu buah mesjid sudah retak-retak (menunggu ambruk), sederet asrama putra dalam keadaan rusak berat dan compang camping “ruya ruyo” serta beberapa ruang sekolah yang keadaannya ...... masya Allah. Selebihnya .......... wallahu a’lam. Akibatnya, dayah Raudhatul Ulum terjadi kefakuman yang cukup lama. Tidak kurang terjadi kefakuman selama  4 tahun (akhir 2003 sampai 2007). Kefakuman tersebut menyebabkan komplek Dayah Raudhatul Ulum hampir kembali lagi ke keadaan Suak Dugo. Seluruh lokasi sudah mulai tergenang air karena drainase tersumbat, dan batang gelagah sudah mulai tumbuh kembali.
Era baru
Memang tidak mudah untuk mengelola kembali Dayah Raudhatul Ulum yang sudah “ruya ruyo” seperti itu. Penyebabnya karena masalahnya tergolong masalah “besar” saat itu yang tidak mungkin ditangani secara cepat. Menyelesaikan persoalan ini sama artinya seperti menarik rambut di dalam tepung, malah lebih berat dari itu seperti “menarik rambut dari halua”. Rambut dapat ditarik dan tidak putus, halua tidak tercemar. Begitulah payahnya menangani dayah Raudhatul Ulum saat itu. Masalah lain yang muncul kemudian adalah timbulnya sanggahan dari pihak tertentu yang menyatakan diri orang berjuang bahwa Raudhatul ulum jangan pernah diubah ke dalam bentuk lain, ke dalam ”pesantren terpadu”. Masalah yang muncul kemudian itu lebih cenderung tidak ada beralasan, malah lebih cenderung sebagai asal bunyi tanpa fakta dan kenyataan. Pasalnya, yang dipermasalahkan pesantren terpadu, tetapi anehnya apa yang dimaksud pesantren terpadu itu mereka tidak paham. Cara pemikiran seperti  ini tergolong  aneh bin ajaib.
Tanggapan yang muncul itu terjadi setelah Aceh telah damai, setelah penandatanganan MOU Helsinki. Kenyataannya damai di satu sisi, tetapi tanggapan-tanggapan “klo prit” seolah-olah masih dalam konflik berada pada sisi lain. Barangkali cara yang paling pas menggambarkan keadaan tersebut seperti ”Hana deungo tut”,  seperti itulah. Setelah diteliti bahwa yang menyanggah tidak paham sejarah Raudhatul Ulum, bahkan lebih parah lagi tidak paham terhadap pemiliknya.
Pihak pimpinan dayah dan pengurus berkali-kali membuat rapat untuk menjelaskan kepada berbagai pihak tentang ingin membuka kembali Dayah Raudhatul Ulum. Walaupun sebenarnya tanpa memberi tahu kepada siapapun setelah Aceh damai Dayah itu dapat segera dibuka, tetapi untuk menjaga etika dan kebiasaan yang dilakukan oleh Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal, maka berbagai rapat dilaksanakan. Akhirnya setelah mendapat dukungan dari berbagai pihak walaupun masih dihambat oleh pihak yang menyatakan dirinya orang perjuangan, Dayah Raudhatul ulum kembali dibuka. Langkah pertama dengan melakukan gotong royong yang diikuti oleh berbagai pihak dari berbagai desa  yang ada. Dan tanpa menghiraukan sanggahan dari pihak-pihak tertentu, Dayah Raudhatul ulum dibuka kembali pada tanggal 15 Syawaal 1427 H atau  5 Agustus  2006 M.
Pembukaan kembali Dayah Raudhatul Ulum merupakan “era baru” pengembangan dayah. Memang harus diakui bahwa membuka kembali dayah yang dalam posisi pingsan malahan lebih berat lagi dalam keadaan “koma” memang sulit. Bukan hanya menata ulang tentang penanganan lembaga tetapi juga mendapat hambatan dari pihak-pihak tertentu yang tidak paham sejarah dayah dan kepemilikannya maupun keterbatasan dana yang harus diadakan sehingga dayah dapat berfungsi kembali. Memahami hal itu, dayah Raudhatul ulum dilakukan penanganan secara bertahap. Memang ada terkesan “pelan” dalam membangun kembali, tetapi dalam keterbatasan tersebut pimpinan dan pengurus berniat Dayah Raudhatul ulum tetap menjadi lembaga mencerdaskan kehidupan masyarakat baik dari segi pengetahuan keagamaan Islam, maupun keahlian dalam bidang lainnya sebagaimana yang diwasiatkan oleh Abuya Syech H. Abdul Hamid Kamal.
Yayasan Syech H. Abdul Hamid Kamal
Setelah Dayah Raudhatul Ulum dibuka kembali tentu tidak serta merta dapat berfungsi seperti dulu lagi. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Ruang belajar, balai drah, asrama, alat pengeras suara, jaringan listrik, pompa air, dan lain- lain walaupun dalam bentuk sederhana. Dukungan dana yang terbatas menyebabkan pengembangan Dayah Raudhatul Ulum pada era ini agak berjalan pelan.
Untuk menguatkan landasan hukum dan yuridis kelembagaan, telah dibentuk Yayasan  yang menaungi Dayah dan berbagai kegiatan lain yang mungkin saja dilakukan dikemudian hari untuk menunjang kelangsungan dayah. Yayasan itu diberi nama YAYASAN SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL (AHKAM). Yayasan tersebut dibentuk melalui Notaris Azhar SH di Jl. Panglima Polem Banda Aceh. Melalui yayasan tersebut membuka peluang untuk menangani dayah secara lebih baik.
Saat ini dayah Raudhatul ulum telah membuka tiga jenis pendidikan yaitu : Pertama, pendidikan pola salafiah dengan menggunakan kurikulum dayah di Aceh yaitu dengan mempelajari kitab kuning.  Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk. Jalaluddin. Kedua, Pendidikan Pengajaran Alquran yang mengacu kepada pola pendidikan Taman Pendidikan Alquran (TPA) serta memperkenalkan hukum-hukum dasar fiqih dan tauhid. Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk. Wardina Haridhy. Ketiga, pendidikan dan pengajian untuk masyarakat melalui pembahasan kitab-kitab berbahasa arab jawo. Pendidikan tersebut dipimpin oleh Tgk Bukhari. Semua tingkat pendidikan tersebut dibantu oleh beberapa guru dan masing-masing guru memimpin kelas atau Drah.
Direncanakan akan dibuka pula  kelompok ibadah Suluk dan Tawajuh. Program ini memerlukan penyiapan asrama yang cukup karena seluruh peserta selama waktu tertentu akan tinggal di asrama dan mengikuti jadwal ibadah secara khusyuk. Pengurus dayah Raudhatul Ulum harus menyatakan disini bahwa keinginan masyarakat untuk ikut kembali dalam pola ibadah Suluk dan Tawajuh ini sangat besar, tetapi karena setelah asrama rusak atau dirusak?, pihak pimpinan dan pengurus belum mampu untuk membangun kembali. Ada banyak program dayah yang masih tertunda karena keterbatas dana. Rehab berat asrama santri yang telah rusak, rehab berat bahkan bangun kembali mesjid dayah, pembangunan asrama putri, pembangunan asrama suluk, pembangunan ruang belajar, dan pengadaan berbagai sarana pendukung lainnya yang dulu telah ada sedangkan kini telah hilang.
Uluran Tangan
Harus dinyatakan pula bahwa seluruh guru yang mengajar di Dayah Raudhatul Ulum tidak mendapat gaji dari dayah karena disebabkan keterbatasan dana yang dimilki lembaga ini. Semua guru mengajar karena Allah semata dan dengan tujuan ibadah dan semata-mata untuk mencerdaskan anak didik dalam mengenal dan mengamalkan agamanya (Islam) serta menguatkan dan mengajarkan masyarakat yang saat ini mulai longgar dengan agamanya menjadi taat kembali.
Keterbatasan yang dimiliki oleh Dayah Raudhatul Ulum sangat dirasakan. Selama ini berjalannya pendidikan di Dayah Raudhatul ulum karena bantuan masyarakat. Tentu saja, setelah terjadi hempasan dahsyat karena konflik dan hentakan gempa tsunami yang menyebabkan banyak bangunan tersisa retak-retak dan tidak mungkin ditempati lagi, untuk membangun kembali tentu saja tidak mampu tipukul oleh pengurus daya dan masyarakat sekitarnya yang kehidupannya sangat terbatas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada kaum muslimin/muslimat dan berbagai pihak yang memiliki kemudahan untuk memberikan bantuan sehingga Dayah Raudhatul Ulum dapat dibangun kembali berbagai fasilitas yang dibutuhkan sehingga sistem pembelajaran di dayah ini dapat berlangsung kembali dengan baik. SALAM. (Eshar).
*) Bantuan dari penyumbang dapat disampaikan melalui Rekening BRI Cabang Blangpidie Atas Nama: YAYASAN SYECH HAJI ABDUL HAMID KAMAL (AHKAM) Nomor Rekening :                , Pertanggungjawaban terhadap penggunaan bantuan donatur akan disampaikan melalui Blog Spot ini secara berkala sehingga donatur dapat mengetahui bantuan yang diberikan digunakan untuk apa dan dalam bentuk apa. Alhamdulillah.   

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum...

    kalau boleh tau, susunan nama-nama Pengurus lengkap Yayasan Ahkam sekarang, kirim ke Email; baitilmalalasyi@gmail.com

    BalasHapus