Kamis, 27 Februari 2014

PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN



(dikutip dari Artikel dok Distan Aceh 014)

PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI PEMBERDAYAAN PETANI DI PEDESAAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris dimana sebagian besar penduduknya merniliki mata pencaharian di sektor pertanian dan umumnya tinggal di pedesaan dengan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah. Dalam konteks kependudukan pedesaan acapkali muncul beberapa persoalan seperti kualitas kehidupan yang masih rendah, angkatan kerja yang banyak tetapi kualitasnya rendah dan tradisionalisme yang kaku. Sejak beberapa tahun ini, pembangunan pedesaan (community development) semakin mendapat perhatian banyak pihak, namun banyak diantara program-program tersebut hanya menguntungkan sekelompok kecil lapisan masyarakat pedesaan. Terlehih-lebih lagi apabila sistem sosial ekonomi yang berlaku di pedesaan seringkali berlawanan dengan tujuan pembangunan pedesaan sehingga kondisi kemiskinan di pedesaan justru akan menjadi lebih parah.
Salah satu upaya yang hingga saat ini diyakini dapat memberikan perubahan taraf hidup masyarakat desa adalah melalui konsep pembangunan dan pengembangan kawasan agrOpolitan. Konsep ini secara positif dapat dipandang sebagai peluang kerja dan peluang usaha yang cukup potensial apabila mampu digerakkan secara maksimal di kawasan pedesaan.
Pada sisi lain, faktor internal penggerak perubahan yaitu pemberlakuan otonomi daerah, membawa perubahan tatanan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik menuntut perubahan beberapa paradigma dalarn pembangunan. Apabila esensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pelayanan, kemandirian, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, maka komponen yang paling menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah kualitas sumberdaya manusia.
Dalam area persaingan global yang semakin ketat dan seiring bergulimya otonomi daerah maka eksistensi individu, masyarakat maupun organisasi akan ditentukan oleh kepemilikan keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Hanya dengan sumberdaya manusia yang unggul dan mempunyai daya saing yang tinggi, suatu masyarakat ataupun organisasi dapat memprediksikan, rnengantisipasi dan mengendalikan setiap perubahan kearah sebagaimana yang diharapkan.
Pada sisi lain berkaitan dengan pengembangan wilayah, (Soenarno, 2003) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan pertumbuhan di perkotaan akan melampaui kawasan lainnya atau dengan kata lain telah mendorong percepatan urbanisasi. Percepatan urbanisasi ini akan menyebabkan terserapnya sumberdaya yang dimiliki di pedesaan oleh kawasan perkotaan. Proses urbanisasi yang tidak terkendali, juga semakin mendesak produktivitas pertanian. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi ditunjukkan dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Konsekwensi logis dari kondisi ini adalah terjadinya migrasi penduduk pedesaan ke perkotaan akibat semakin menyempitnya lapangan kerja di bidang pertanian. Kondisi ini mengakibatkan kita harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, kita harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, kita mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, penjbahan paradigma pernbangunan harus dilakukan, yaitu pembangunan nasional yang lebih diprioritaskan kepada pembangunan pedesaan sebagai satu-satunya mesin pertumbuhan yang handal. Pembangunan pedesaan harus didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi selama ini. Sejalan dengan itu, pembangunan sumberdaya manusia harus selaras dan seimbang dengan pembangunan fisik maupun wilayah. Oleh karena itu, "pengernbangan kawasan agropolitan sebagai salah satu strategi pemberdayaan petani di pedesaan" merupakan alternatif solusi yang perlu mendapatkan perhatian secara serius dari berbagai pihak yang tertibat datam pengernbangan masyarakat terutama yang berdomisili di pedesaan.

Pengertian Kawasan Agropolitan
Agropolitan terdiri dari dua kata yaitu agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sisteni dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitamya (Suwandi, 2005).
Kota pertanian (agropolitan) berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) dimana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kola kecamatan atau kota pedesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitamya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan di sektor lainnya secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain.
Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan ualam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota yang lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari, kota kecamatan atau kota kecil atau kota menengah.
Suatu  kawasan  agropolitan  yang  sudah   berkembang   memiliki  ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Sebagian    besar   masyarakat   di    kawasan    tersebut    memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribinis)
b.    Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, terrnasuk didalamnya usaha industri (pascapanen dan pcngolahan) produk pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan
c.    Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland/daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interpedensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (or? farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm). Sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
d.    Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Tujuan dan Sasaran Pengembangan
Tujuan pengembangan kawasan agropolitan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui oercepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropoltan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga off farm" nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan menigkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:
a.    Pernberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi dan produktivitas kornoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan
b.    Penguatan kelembagaan petani
c.    Pengembangan kelembagaan sistem agribsnis (penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyedia jasa)
d.    Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu
e.    Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.

Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Permasalahannya
Issue dan permasalahan pokok sekaligus tantangan yang harus diatasi dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan diantaranya adalah:
1.    Pertanian kita masih bersifat subsisten yang dicirikan oleh usaha skala kecil (luasan sempit), dilaksanakan berjuta-juta petani, dikelola oleh sumberdaya dengan kualitas yang relatif rendah, dan alih fungsi lahan pertanian yang relatif tinggi setiap tahunnya. Disamping dan segi luas, kesuburan lahan juga mengalami penurunan akibat degradasi kualitas lingkungan. Ketersediaan sumberdaya air secara kuantitatif dan kualitatif juga mengalami penurunan akibat lemahnya petugas serta lemahnya manajemen pemanfaatan air
2.    Mayoritas sumberdaya manusia yang mendukung sektor pertanian masih berkualitas rendah, mempunyai tingkat pendidikan formal yang juga rendah, yaitu tidak menyelesaikan pendidikan dasar, sehingga kemampuan mereka untuk menyerap informasi dan mengadopsi teknologi relatif terbatas
3.    Orientasi pembangunan pertanian selama ini terbatas pada aspek produksi (budidaya), permasalahan yang muncul justru sebagian besar berada di luar aspek produksi seperti permodalan pengadaan sarana, pengolahan hasil, jalur distribusi dan pemasaran hasil
4.    Pembangunan agribisnis yang terfokus pada usahatani juga membatasi aiang gerak perkembangan organisasi ekonomi petani. Organisasi petani seperti koperasi petani umumnya hanya bergerak pada usahatani dan sangat kurang berkembang menangani industri hulu dan hilir agribisnis. Kondisi ini menyebabkan petani hanya menguasai mata rantai yang bernilai tambah kecil dan beresiko tinggi di tingkat usahatani (on-farm) sehingga pendapatan petani tetap rendah. Disamping itu, kelembagaan tani dan kelembagaan lainnya secara optimal dapat meningkatkan posisi petani sebagai subyek pembangunan pertanian
5.    Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, menurut UU NO.24/1992 tentang penataan ruang, diiperlukan adanya penegasan terhadap "Kedudukan" kawasan pedesaan yang berarti penegasan terhadap fungsi dan peran kawasan pedesaan. Selanjutnya, fungsi dan peran kawasan pedesaan ini seharusnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi cetak biru pengembangan kawasan pedesaan
6.    Ukuran keberhasilan pembangunan selama ini hanya dilihat dari terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi dengan menciptakan lapangan kerja serta kegiatan industrialisasi di kawasan perkotaan. Kondisi ini bila ditinjau dari azas pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan antara kawasan pedesaan dan perkotaan karena sektor strategis hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat
7.    Seiring dengan sernakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa, telah memunculkan keseriusan akan terjadinya keadaan "rawan pangan" di masa yang akan datang. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari dua kali lipat dibanding jumlah kebutuhan saat ini
8.    Perlu adanya pertiatian khusus dalam upaya pengembangan kawasan pertanian terutama untuk mengantisipasi produktivitas yang masth rendah, sistem pemasaran yang belum ditata sebagairnana mestinya, serta kelembagaan yang kurang kondusif bagi iklim usaha dalam bidang pertanian.















KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN
Berdasarkan issue dan permasalahan pembangunan pedesaan yang terjadi, pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan. Konsep pengembangan kawasan agropolitan, tidak semata-mata ditujukan kepada pembangunan fisik material tetapi juga sekaligus harus dikaitkan dengan pembangunan masyarakat/sumberdaya manusia secara langsung. Titik berat pembangunan masyarakat memerlukan pendekatan yang bersifat integral dan terpadu, artinya pembangunan yang akan dilaksanakan tidak hanya meriyangkut pembangunan struktur fisik, tetapi sekaligus pembangunan manusia dengan pendekatan yang berimbang. Pengembangan kawasan agropolitan harus mampunyai keterkaitan yang harmonis antara pendekatan yang top down dengan pendekatan bottom up yang bertujuan untuk mencapai efek ganda. Prakarsa-prakarsa dari bawah tidak dapat diabaikan, karena hal itu merupakan komponen penentu dalam menggerakkan sumberdaya sebagai kekuatan utama untuk mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Konsep Pendekatan Wilayah
Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkernbang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela, kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sementara itu, kawasan agropolitan diartikan sebagai sisitem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan kawasan penyangga di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasiona! dan sistem penmukiman pada tingkat provinsi (Gampong dan Mukim). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkernbang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Kawasan agropolitan terdiri dari kcta pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya. Kawasan pertanian tersebut memiliki fasilitas seperti layaknya perkotaan. Fasilitas yang tidak kalah pada sebuah kota modern, dimana berbagai sarana seperti jaringan jalan, lembaga keuangan, pasar, perkantoran, lembaga penyuluhan dan alih teknologi, lembaga pendidikan serta penelitian yang berdiri teguh di sela-sela hamparan lahan pertanian yang menghijau. Disini nantinya juga tersedia sarana air bersih, kantor kelembagaan mink petani dan lembaga kesehatan.
Pengembangan kawasan agropolitan bukanlah konsep baru tetapi merupakan kelanjutan untuk mengoptimalkan hasil-hasil pembangunan pada kawasan andalan baik pada daerah-daerah Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), maupun pada Kawasan Tertinggal. Disamping itu, pengembangan kawasan agropolitan juga perlu mengoptimalkan hasil-hasil program sebelumnya seperti Program Bimas, Program Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), Program Kawasan Industri Petemakan (KINAK), Program Penyediaan Prasarana dan Sarana Pedesaan (PPSD) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Dengan demikian, program kawasan yang akan dikembangkan adalah untuk mensinergikan berbagai program baik yang berasal dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota pada kawasan andalan yang ditetapkan daerah. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan.
Adapun rnuatan-muatan yang terkandung di dalamnya diantaranya:
1)    Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/transport center), penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support sen/ices), pasar konsumen produk non pertanian (non agricultural consumers market), pusat industri pertanian (agro based industry), penyedia pekerjaan non pertanian (non agricultural employment) dan pusat agropolitan serta kawasan penyangga di daerah sekitarnya
2)    Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai pusat produksi pertanian, intensifikasi pertanian, pusat pendapatan pedesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian dan produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian
3)    Penetapan sektor unggulan (leading sector ), yartu merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor lainnya, kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku atau masyarakat dalam jumlah besar dan mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor
4)    Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, jaringan listrik dan telekomunikas?
5)    Dukungan sistem kelembagaan, yaitu dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat dan pengembangan sistem   kelembagaan intensif dan disintensif pengembangan kawasan agropolitan. Melalui kelembagaan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan pedesaan berinteraksi satu sama lainnya secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (added value) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan pedesaan dapat dipacu dan migrasi masyarakat desa ke kota yang terjadi dapat dikendalikan.


Konsep Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Sejalan dengan pengembangan kawasan agropolitan rnetalui konsep pendekatan wilayah maka konsep pendekatan pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya rnanusia/masyarakat juga harus diiakukan secara simultan. Pemberdayaan sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas maka pengembangan kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang berhasil dan tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Pengembangan sumberdaya manusia dapat terlaksana dan sesuai dengan harapan, jika setiap komponen dan fungsi organisasi baik di pusat maupun di daerah memandang upaya pengembangan sumberdaya manusia bukan sebagai unsur penunjang, melainkan merupakan bagian integral dari masing-masing fungsi organisasi. Sumberdaya manusia pertanian menyangkut sekitar 39,5 juta tenaga kerja pertanian terdiri dari petani, petugas serta jutaan stakeholders pembangunan pertanian dengan segenap kompleksitas permasalahan pada setiap segmen sumberdaya manusia pertanian Masalah utama sumberdaya manusia pertanian yaitu tingkat pendidikan rendah, produktivitas rendah dan sebaran yang tidak merata.
Pengembangan sumberdaya manusia pertanian baik di pusat maupun di daerah, salah satunya rnelalui program pemberdayaan masyarakat atau pemberdayaan sumberdaya manusia. Menurut Kartasasmita (1996), pemberdayaan adalah pemberian kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan dirinya dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Kartasasmita (1996) menjelaskan iebih lanjut bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang mencerminkan paradigma baru pembangunan yakni yang bersifat:
·        People-centered
·        Participatory
·        Empowering
·        Sustainable
Sebagai pembanding Scott dan Jaffe (1994) mencirikan pemberdayaan sebagai upaya: 1) meningkatkan kepuasan kerja, 2) memperluas pengetahuan dan keterampilan meningkatkan kualitas kerja, 3) memberikan kebebasan berkreasi serta mengembangkan hal-hal baru, 4) pengawasan dilakukan melalui keputusan bersama, 5) pemberian tugas lengkap tidak parsial, 6) berorientasi pada kepuasan orang yang dilayani dan 7) memenuhi kebutuhan pasar Mengacu pada konsep-konsep tersebut, pemberdayaan masyarakat atau sumberdaya manusia kearah kemandirian dalam berusahatani merupakan kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku, yakni meningkaikan kemampuan masyarakat untuk dapat menentukan sendiri pilihannya, dan memberikan respon yang tepat terhadap berbagai perubahan sehingga mampu mengendalikan masa depannya dan dorongan untuk Iebih mandiri. Pemberdayaan ini penting karena sumberdaya manusia berperan sebagai pelaku utarna dalam keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan.

STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN
Dari gambaran issue dan permasalahan certa konsep pengembangan kawasan agropolitan maka acla dua straiegi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu 1) strategi pemberdayaan masyarakat/sumberdaya manusia dan 2) strategi pengembangan wilayah. Kedua strategi tersebut diantaranya akan diuraikan pada penjelasan berikut:
Strategi Pemberdayaan Masyarakat/SDM
1.    Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan agropolitan mulai dari perencanaan, peiaksanaan sampai dengan evaluasi. Perencanaan disusun secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau program pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan merasa memiliki program-program yang akan dikembangkan pada kawasan agropolitan, peran pemerintah disini hanya sebatas mernfasilitasi apa yang sebenamya diperlukan masyarakat
2.    Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan dalam pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi (budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kawasan agropolitan. Tujuan dari diklat tersebut adalah menciptakan: a) manajer profesional skala usaha kecil dan menengah yang mempunyai wawasan global, b) tenaga terampil di bidang teknis untuk mengoperasionalkan alat dan mesin pertanian, finansial, pembukuan, pengolahan hasil, pemasaran dan promosi dan c) tenaga ahli hukum (corporate lawyer) sebagai konsultan dalam mengembangkan mitra antara perusahaan nasional dengan perusahaan   nasional dengan perusahaan asing.
3.    Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha, dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompoktani, kelembagaan kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana produksi, pemasaran dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaan seperti lembaga keuangan pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga perkreditan desa
4.    Meningkatkan   kemampuan   analisis    pasar   dan   pemasaran   melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dengan mengembangkan sarana dan prasarana pemasaran seperti:
Ø  Penataan struktur pasar dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi pasar, menjamin perdagangan yang transparan dan distribusi nilai tambah yang lebih proporsional
Ø  Perbaikan prasarana angkutan jalan dan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian ke pusat konsumen dan perdagangan
Ø  Fasilitas perdagangan (storage) yang memadai terutama bagi komoditas yang mudah rusak seperti produk hortikultura dan peternakan
Ø  Rasionalisast biaya angkutan udara bagi komoditas ekspor, mengingat biaya kargo udara perusahaan penerbangan nasional masih dirasakan terlalu tinggi untuk produk-produk pertanian.
Strategi Pengembangan Wilayah
1.    Mengembangkan sarana dan prasarana ekoncmi untuk mendukung pengembangan usaha pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani, sarana pengairan, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi
2.    Menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam hal: a) pemberian insentif dan keringanan pajak, kernudahan dalam pengadaan barang modal, kepastian hukum, keamanan berusaha dan dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam tata ruang dan tataguna lahan, b) penyederhanaan birokrasi, prosedur, pelayanan yang cepat dan sederhana dala perijinan usaha
3.    Mengembangkan teknologi di bidang agribisnis yang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, peningkatan mutu dan diversifikasi produk olahan baik untuk usaha kecil, menengah dan besar berupa: a) teknologi biologis (benih variatas) yang sesuai permintaan pasar, b) teknologi pengolahan produk pertanian untuk berbagai skala usaha, c) teknologi pengepakan/pengemasan dan distribusi untuk menjamin produk tetap dalam kondisi segar sampai ke konsumen akhir dan d) teknologi budidaya untuk memberikan hasil keuntungan yang tinggi seperti mekanisasi pertanian
4.    Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah. Master plan ini disusun berdasarkan hasil perencanaan partisipatif masyarakat bersama dengan pemerintah daerah sehingga program yang disusun lebih akomodatif
5.    Penetapan lokasi agropolitan dimana kegiatan ini dimulai dan usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah provinsi. Untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahtilu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan) antara lain: potensi SDA, SDM, kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya. Sebagian langkah awal pada tahun 2002 telah ditetapkan 6 provinsi sebagai lokasi rintisan pengembangan kawasan agropolitan yaftu rneliputi Provinsi Sumatera Barat (Kab. Agam dengan komoditi unggulan peternakan), Provinsi Bengkulu (Kab. Rejang Lebong dengan komoditi unggulan Hortikultura), Provinsi Jawa Barat (Kab. Cianjur dengan komoditi unggulan perkebunan), Propoinsi O.I Yogyakarta (Kab, Kulon Progo dengan komoditi unggulan perkebunan), Provinsi Bali (Kab. Bangli dengan komoditi unggulan perkebunan), Provinsi Sulawesi Selatan (Kab. Barru dengan komoditi unggulan peternakan) dan Provinsi Gorontalo dengan komoditi unggulan tanaman pangan
6.    Melakukan gerakan dan sosialisasi program pengembangan kawasan agropolitan kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan pengembangan program agropoiitan baik pusat maupun daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu, terkordinasi dan terintegrasi dengan baik.















PENUTUP
Kesimpulan
Pengembangan kawasan agropolitan merupakan suatu strategi yang mutlak diperlukan, bukan hanya karena terdapatnya ketimpangan antara kawasan pedesaan dengan perkotaan akan tetapi juga karena tingginya potensi yang tersedia di pedesaan yang dapat dimanfaatkan guna mendorong keberhasitan pembangunan.
Pengembangan kawasan agropoiitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan bersifat spesifik lokal, pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan produksi aan pendapatan masyarakat, disamping sektor yang dipilih merupakan basis aktivitas masyarakat. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya.
Komoditas dapat menjadi penggerak ekonomi di pedesaan. Dalam kawasan pertanian yang akan dijadikan kawasan agropolitan, adapun komoditas unggulan yang diminta pasar akan memberikan efek multiplier yang tinggi sehingga dapat menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakatnya.
Bila dalam satu kawasan terdapat lebih dari satu komoditas unggulan maka diharapkan akan terwujud program one village one commodity.






DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2003. Hortikultura. Direktorat Pengembangan Usaha Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian R.I. Jakarta.

Anonymous. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan Dan Pedoman Rogram Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian R.I. Jakarta.

Bryant C and Louise G. White. 1982. Managing Development In The Third World. Westview Press, Boulder Colorado.

Gumbira  ES dan Burhanuddin. 1996. Strategi Pengembangan Agribisnis Magister Manajemen Agribisnis. IPB. Bogor.

Kartasasmita    G. 1996. Pernbangunan Untuk Rakyat. Memadukan pertumbuhan dan pemerataan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Munandar, S. 2001. Pengembangan SDM Pertanian Masa Depan. Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.

Scottt, Cynthia D, and Dennis T. Jaffe. 1994. Empowerment Building a Commrted Workforce. Kogan Page Ltd. Pentonville Road. London.

Soenarno.   2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah. Departemen pemukiman dan prasarana wilayah R.I. Jakarta.

Suprapto   A.2001. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Agribisnis. Departemen Pertanian R.I. Jakarta.

Suwandi. 2005. Agropolitan. Merentas Jalan Meniti Harapan. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar