(dikutip dari Artikel dok Distan Aceh 014)
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN SEBAGAI SALAH SATU STRATEGI PEMBERDAYAAN
PETANI DI PEDESAAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan
salah satu negara agraris dimana sebagian besar penduduknya merniliki mata
pencaharian di sektor pertanian dan umumnya tinggal di pedesaan dengan kualitas
sumberdaya manusia yang masih rendah. Dalam konteks kependudukan pedesaan
acapkali muncul beberapa persoalan seperti kualitas kehidupan yang masih
rendah, angkatan kerja yang banyak tetapi kualitasnya rendah dan
tradisionalisme yang kaku. Sejak beberapa tahun ini, pembangunan pedesaan
(community development) semakin mendapat perhatian banyak pihak, namun banyak
diantara program-program tersebut hanya menguntungkan sekelompok kecil lapisan
masyarakat pedesaan. Terlehih-lebih lagi apabila sistem sosial ekonomi yang
berlaku di pedesaan seringkali berlawanan dengan tujuan pembangunan pedesaan
sehingga kondisi kemiskinan di pedesaan justru akan menjadi lebih parah.
Salah satu upaya yang hingga
saat ini diyakini dapat memberikan perubahan taraf hidup masyarakat desa adalah
melalui konsep pembangunan dan pengembangan kawasan agrOpolitan. Konsep ini
secara positif dapat dipandang sebagai peluang kerja dan peluang usaha yang
cukup potensial apabila mampu digerakkan secara maksimal di kawasan pedesaan.
Pada sisi lain, faktor
internal penggerak perubahan yaitu pemberlakuan otonomi daerah, membawa
perubahan tatanan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik menjadi
desentralistik menuntut perubahan beberapa paradigma dalarn pembangunan.
Apabila esensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pelayanan, kemandirian,
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, maka komponen yang paling menentukan
keberhasilan otonomi daerah adalah kualitas sumberdaya manusia.
Dalam area persaingan global
yang semakin ketat dan seiring bergulimya otonomi daerah maka eksistensi
individu, masyarakat maupun organisasi akan ditentukan oleh kepemilikan
keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Hanya dengan sumberdaya manusia yang
unggul dan mempunyai daya saing yang tinggi, suatu masyarakat ataupun
organisasi dapat memprediksikan, rnengantisipasi dan mengendalikan setiap
perubahan kearah sebagaimana yang diharapkan.
Pada sisi lain berkaitan
dengan pengembangan wilayah, (Soenarno, 2003) menyatakan bahwa pendekatan
pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa
dipungkiri telah mengakibatkan pertumbuhan di perkotaan akan melampaui kawasan
lainnya atau dengan kata lain telah mendorong percepatan urbanisasi. Percepatan
urbanisasi ini akan menyebabkan terserapnya sumberdaya yang dimiliki di
pedesaan oleh kawasan perkotaan. Proses urbanisasi yang tidak terkendali, juga semakin
mendesak produktivitas pertanian. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS)
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari
37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Secara lebih mikro, tingginya
urbanisasi ditunjukkan dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian
menjadi kawasan perkotaan. Konsekwensi logis dari kondisi ini adalah terjadinya
migrasi penduduk pedesaan ke perkotaan akibat semakin menyempitnya lapangan
kerja di bidang pertanian. Kondisi ini mengakibatkan kita harus mengimpor
produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat,
kita harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan
nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, kita mengimpor
sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta.
Berdasarkan kondisi tersebut
diatas, penjbahan paradigma pernbangunan harus dilakukan, yaitu pembangunan
nasional yang lebih diprioritaskan kepada pembangunan pedesaan sebagai
satu-satunya mesin pertumbuhan yang handal. Pembangunan pedesaan harus didorong
guna mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi selama ini. Sejalan dengan
itu, pembangunan sumberdaya manusia harus selaras dan seimbang dengan
pembangunan fisik maupun wilayah. Oleh karena itu, "pengernbangan kawasan
agropolitan sebagai salah satu strategi pemberdayaan petani di pedesaan"
merupakan alternatif solusi yang perlu mendapatkan perhatian secara serius dari
berbagai pihak yang tertibat datam pengernbangan masyarakat terutama yang
berdomisili di pedesaan.
Pengertian Kawasan Agropolitan
Agropolitan terdiri dari dua
kata yaitu agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti
kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di
daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Dalam tulisan ini, yang
dimaksud dengan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sisteni dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di
wilayah sekitamya (Suwandi, 2005).
Kota pertanian (agropolitan)
berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) dimana
kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan
kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk
kotanya) disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan
kota menengah atau kota
kecil atau kola kecamatan atau kota pedesaan atau kota nagari yang berfungsi
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan
desa-desa hinterland atau wilayah sekitamya melalui pengembangan ekonomi, yang
tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga
pembangunan di sektor lainnya secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil,
pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain.
Batasan suatu kawasan
agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah
(desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan
memperhatikan economic of scale dan
economic of scope. Karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya
dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis
yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat
meliputi satu wilayah desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan
ualam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah
kabupaten/kota yang lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa atau
kota nagari, kota kecamatan atau kota kecil atau kota menengah.
Suatu kawasan
agropolitan yang sudah
berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Sebagian besar masyarakat
di kawasan tersebut
memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribinis)
b.
Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh
kegiatan pertanian atau agribisnis, terrnasuk didalamnya usaha industri
(pascapanen dan pcngolahan) produk pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian
(termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu
(sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan
c.
Hubungan antara kota dan daerah-daerah
hinterland/daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat
interpedensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan,
dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (or? farm) dan produk
olahan skala rumah tangga (off farm).
Sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan
agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi
pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
d.
Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan
suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh
berbeda dengan di kota.
Tujuan dan Sasaran Pengembangan
Tujuan pengembangan kawasan
agropolitan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat melalui oercepatan pengembangan wilayah dan
peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan
usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak
merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah
dan masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha
agribisnis maka di kawasan agropoltan tersebut tidak saja membangun usaha
budidaya (on farm) saja tetapi juga “off farm" nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana
pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan
jasa penunjangnya,
sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi
kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan
menigkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sasaran pengembangan kawasan
agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi
menjadi kawasan agropolitan, melalui:
a.
Pernberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu
meningkatkan produksi dan produktivitas kornoditi pertanian serta produk-produk
olahan pertanian, yang dilakukan melalui pengembangan sistem dan usaha
agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan
b.
Penguatan kelembagaan petani
c.
Pengembangan kelembagaan sistem agribsnis (penyedia
agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyedia jasa)
d.
Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu
e.
Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Permasalahannya
Issue dan permasalahan pokok
sekaligus tantangan yang harus diatasi dalam kaitannya dengan pengembangan
kawasan agropolitan diantaranya adalah:
1.
Pertanian kita masih bersifat subsisten yang dicirikan oleh
usaha skala kecil (luasan sempit), dilaksanakan berjuta-juta petani, dikelola
oleh sumberdaya dengan kualitas yang relatif rendah, dan alih fungsi lahan
pertanian yang relatif tinggi setiap tahunnya. Disamping dan segi luas,
kesuburan lahan juga mengalami penurunan akibat degradasi kualitas lingkungan.
Ketersediaan sumberdaya air secara kuantitatif dan kualitatif juga mengalami
penurunan akibat lemahnya petugas serta lemahnya manajemen pemanfaatan air
2.
Mayoritas sumberdaya manusia yang mendukung sektor pertanian
masih berkualitas rendah, mempunyai tingkat pendidikan formal yang juga rendah,
yaitu tidak menyelesaikan pendidikan dasar, sehingga kemampuan mereka untuk
menyerap informasi dan mengadopsi teknologi relatif terbatas
3.
Orientasi pembangunan pertanian selama ini terbatas pada
aspek produksi (budidaya), permasalahan yang muncul justru sebagian besar
berada di luar aspek produksi seperti permodalan pengadaan sarana, pengolahan
hasil, jalur distribusi dan pemasaran hasil
4.
Pembangunan agribisnis yang terfokus pada usahatani juga
membatasi aiang gerak perkembangan organisasi ekonomi petani. Organisasi petani
seperti koperasi petani umumnya hanya bergerak pada usahatani dan sangat kurang
berkembang menangani industri hulu dan hilir agribisnis. Kondisi ini
menyebabkan petani hanya menguasai mata rantai yang bernilai tambah kecil dan
beresiko tinggi di tingkat usahatani (on-farm)
sehingga pendapatan petani tetap rendah. Disamping itu, kelembagaan tani dan kelembagaan
lainnya secara optimal dapat meningkatkan posisi petani sebagai subyek
pembangunan pertanian
5.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, menurut UU
NO.24/1992 tentang penataan ruang, diiperlukan adanya penegasan terhadap
"Kedudukan" kawasan pedesaan yang berarti penegasan terhadap fungsi
dan peran kawasan pedesaan. Selanjutnya, fungsi dan peran kawasan pedesaan ini
seharusnya dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi cetak
biru pengembangan kawasan pedesaan
6.
Ukuran keberhasilan pembangunan selama ini hanya dilihat dari
terciptanya laju pertumbuhan perekonomian yang tinggi dengan menciptakan
lapangan kerja serta kegiatan industrialisasi di kawasan perkotaan. Kondisi ini
bila ditinjau dari azas pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan
antara kawasan pedesaan dan perkotaan karena sektor strategis hanya dimiliki
oleh sebagian masyarakat
7.
Seiring dengan sernakin meningkatnya jumlah penduduk di
Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali
lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa, telah memunculkan
keseriusan akan terjadinya keadaan "rawan pangan" di masa yang akan
datang. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan
kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk
berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang
Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari dua kali
lipat dibanding jumlah kebutuhan saat ini
8.
Perlu adanya pertiatian khusus dalam upaya pengembangan
kawasan pertanian terutama untuk mengantisipasi produktivitas yang masth
rendah, sistem pemasaran yang belum ditata sebagairnana mestinya, serta
kelembagaan yang kurang kondusif bagi iklim usaha dalam bidang pertanian.
KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN
Berdasarkan issue dan
permasalahan pembangunan pedesaan yang terjadi, pengembangan kawasan
agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pembangunan masyarakat di wilayah
pedesaan. Konsep pengembangan kawasan agropolitan, tidak semata-mata ditujukan
kepada pembangunan fisik material tetapi juga sekaligus harus dikaitkan dengan
pembangunan masyarakat/sumberdaya manusia secara langsung. Titik berat
pembangunan masyarakat memerlukan pendekatan yang bersifat integral dan terpadu,
artinya pembangunan yang akan dilaksanakan tidak hanya meriyangkut pembangunan
struktur fisik, tetapi sekaligus pembangunan manusia dengan pendekatan yang
berimbang. Pengembangan kawasan agropolitan harus mampunyai keterkaitan yang
harmonis antara pendekatan yang top down dengan pendekatan bottom up yang
bertujuan untuk mencapai efek ganda. Prakarsa-prakarsa dari bawah tidak dapat
diabaikan, karena hal itu merupakan komponen penentu dalam menggerakkan
sumberdaya sebagai kekuatan utama untuk mewujudkan pengembangan kawasan
agropolitan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Konsep Pendekatan Wilayah
Agropolitan dapat diartikan
sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkernbang karena berjalannya sistem
dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela,
kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sementara
itu, kawasan agropolitan diartikan sebagai sisitem fungsional desa-desa yang
ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan
dan kawasan penyangga di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan. Kawasan
tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasiona! dan
sistem penmukiman pada tingkat provinsi (Gampong dan Mukim). Kawasan
agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan
berkernbang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat pembangunan
pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Kawasan agropolitan terdiri
dari kcta pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di
sekitarnya. Kawasan pertanian tersebut memiliki fasilitas seperti layaknya
perkotaan. Fasilitas yang tidak kalah pada sebuah kota modern, dimana berbagai
sarana seperti jaringan jalan, lembaga keuangan, pasar, perkantoran, lembaga
penyuluhan dan alih teknologi, lembaga pendidikan serta penelitian yang berdiri
teguh di sela-sela hamparan lahan pertanian yang menghijau. Disini nantinya
juga tersedia sarana air bersih, kantor kelembagaan mink petani dan lembaga
kesehatan.
Pengembangan kawasan
agropolitan bukanlah konsep baru tetapi merupakan kelanjutan untuk
mengoptimalkan hasil-hasil pembangunan pada kawasan andalan baik pada
daerah-daerah Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET), maupun pada Kawasan Tertinggal. Disamping itu, pengembangan
kawasan agropolitan juga perlu mengoptimalkan hasil-hasil program sebelumnya
seperti Program Bimas, Program Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN),
Program Kawasan Industri Petemakan (KINAK), Program Penyediaan Prasarana dan Sarana
Pedesaan (PPSD) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Dengan demikian, program
kawasan yang akan dikembangkan adalah untuk mensinergikan berbagai program baik
yang berasal dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota pada kawasan andalan yang
ditetapkan daerah. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara
terintegrasi, perlu disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang
akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan.
Adapun rnuatan-muatan yang terkandung
di dalamnya diantaranya:
1)
Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai pusat
perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural
trade/transport center), penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support sen/ices), pasar
konsumen produk non pertanian (non
agricultural consumers market), pusat industri pertanian (agro based industry), penyedia
pekerjaan non pertanian (non agricultural
employment) dan pusat agropolitan serta kawasan penyangga di daerah
sekitarnya
2)
Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai
pusat produksi pertanian, intensifikasi pertanian, pusat pendapatan pedesaan
dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian dan produksi tanaman
siap jual dan diversifikasi pertanian
3)
Penetapan sektor unggulan (leading sector ), yartu merupakan sektor unggulan yang sudah
berkembang dan didukung oleh sektor lainnya, kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku
atau masyarakat dalam jumlah besar dan mempunyai skala ekonomi yang
memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor
4)
Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang
mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya jaringan jalan, irigasi,
sumber-sumber air, jaringan listrik dan telekomunikas?
5)
Dukungan sistem kelembagaan, yaitu dukungan kelembagaan pengelola pengembangan
kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan
fasilitasi pemerintah pusat dan pengembangan sistem kelembagaan intensif dan disintensif
pengembangan kawasan agropolitan. Melalui kelembagaan tersebut, pusat agropolitan
dan kawasan pedesaan berinteraksi satu sama lainnya secara menguntungkan.
Dengan adanya
pola interaksi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (added value) produksi kawasan
agropolitan sehingga pembangunan pedesaan dapat dipacu dan migrasi masyarakat
desa ke kota yang terjadi dapat dikendalikan.
Konsep
Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Sejalan dengan pengembangan
kawasan agropolitan rnetalui konsep pendekatan wilayah maka konsep pendekatan
pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya rnanusia/masyarakat juga harus
diiakukan secara simultan. Pemberdayaan sumberdaya manusia merupakan hal yang
sangat penting, karena tanpa didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas
maka pengembangan kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang
berhasil dan tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Pengembangan sumberdaya
manusia dapat terlaksana dan sesuai dengan harapan, jika setiap komponen dan
fungsi organisasi baik di pusat maupun di daerah memandang upaya pengembangan
sumberdaya manusia bukan sebagai unsur penunjang, melainkan merupakan bagian
integral dari masing-masing fungsi organisasi. Sumberdaya manusia pertanian
menyangkut sekitar 39,5 juta tenaga kerja pertanian terdiri dari petani,
petugas serta jutaan stakeholders pembangunan pertanian dengan segenap
kompleksitas permasalahan pada setiap segmen sumberdaya manusia pertanian
Masalah utama sumberdaya manusia pertanian yaitu tingkat pendidikan rendah,
produktivitas rendah dan sebaran yang tidak merata.
Pengembangan sumberdaya
manusia pertanian baik di pusat maupun di daerah, salah satunya rnelalui
program pemberdayaan masyarakat atau pemberdayaan sumberdaya manusia. Menurut
Kartasasmita (1996), pemberdayaan adalah pemberian kesempatan untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak
mampu untuk melepaskan dirinya dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Kartasasmita (1996) menjelaskan iebih lanjut bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang mencerminkan paradigma baru
pembangunan yakni yang bersifat:
·
People-centered
·
Participatory
·
Empowering
·
Sustainable
Sebagai pembanding Scott dan
Jaffe (1994) mencirikan pemberdayaan sebagai upaya: 1) meningkatkan kepuasan
kerja, 2) memperluas pengetahuan dan keterampilan meningkatkan kualitas kerja,
3) memberikan kebebasan berkreasi serta mengembangkan hal-hal baru, 4) pengawasan dilakukan
melalui keputusan bersama, 5) pemberian tugas lengkap tidak parsial, 6) berorientasi
pada kepuasan orang yang dilayani dan 7) memenuhi kebutuhan pasar Mengacu pada
konsep-konsep tersebut, pemberdayaan masyarakat atau sumberdaya manusia kearah
kemandirian dalam berusahatani merupakan kondisi yang dapat ditumbuhkan
melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku,
yakni meningkaikan kemampuan masyarakat untuk dapat menentukan sendiri
pilihannya, dan memberikan respon yang tepat terhadap berbagai perubahan
sehingga mampu mengendalikan masa depannya dan dorongan untuk Iebih mandiri.
Pemberdayaan ini penting karena sumberdaya manusia berperan sebagai pelaku
utarna dalam keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan.
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN
Dari gambaran issue dan
permasalahan certa konsep pengembangan kawasan agropolitan maka acla dua
straiegi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu 1)
strategi pemberdayaan masyarakat/sumberdaya manusia dan 2) strategi
pengembangan wilayah. Kedua strategi tersebut diantaranya akan diuraikan pada
penjelasan berikut:
Strategi Pemberdayaan Masyarakat/SDM
1.
Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan
agropolitan mulai dari perencanaan, peiaksanaan sampai dengan evaluasi.
Perencanaan disusun secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan
master plan atau program pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan
masyarakat, mereka akan merasa memiliki program-program yang akan dikembangkan
pada kawasan agropolitan, peran pemerintah disini hanya sebatas mernfasilitasi
apa yang sebenamya diperlukan masyarakat
2.
Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan
dalam pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi
(budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan
kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan
pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
kawasan agropolitan. Tujuan dari diklat tersebut adalah menciptakan: a) manajer
profesional skala
usaha kecil dan menengah yang mempunyai wawasan global, b) tenaga terampil di
bidang teknis untuk mengoperasionalkan alat dan mesin pertanian, finansial,
pembukuan, pengolahan hasil, pemasaran dan promosi dan c) tenaga ahli hukum (corporate lawyer) sebagai konsultan dalam
mengembangkan mitra antara perusahaan nasional dengan
perusahaan nasional dengan perusahaan
asing.
3.
Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan
posisi tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha,
dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan
keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompoktani, kelembagaan
kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana produksi, pemasaran
dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaan seperti lembaga keuangan
pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga perkreditan desa
4.
Meningkatkan
kemampuan analisis pasar
dan pemasaran melalui peningkatan kualitas
sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dengan mengembangkan sarana dan
prasarana pemasaran seperti:
Ø Penataan struktur pasar dalam
negeri untuk meningkatkan efisiensi pasar, menjamin perdagangan yang
transparan dan distribusi nilai tambah yang lebih proporsional
Ø Perbaikan prasarana angkutan
jalan dan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian ke pusat konsumen
dan perdagangan
Ø Fasilitas perdagangan
(storage) yang memadai terutama bagi komoditas yang mudah rusak seperti
produk hortikultura dan peternakan
Ø Rasionalisast biaya angkutan
udara bagi komoditas ekspor, mengingat biaya kargo udara perusahaan
penerbangan nasional masih dirasakan terlalu tinggi untuk produk-produk
pertanian.
Strategi Pengembangan Wilayah
1. Mengembangkan sarana dan
prasarana ekoncmi untuk mendukung pengembangan usaha pertanian skala kecil dan
menengah berupa jalan desa, jalan usahatani, sarana pengairan, pelabuhan,
transportasi dan telekomunikasi
2. Menciptakan iklim berusaha
yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam hal: a) pemberian
insentif dan keringanan pajak, kernudahan dalam pengadaan barang modal,
kepastian hukum, keamanan berusaha dan dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah
dalam tata ruang dan tataguna lahan, b) penyederhanaan birokrasi, prosedur,
pelayanan yang cepat dan sederhana dala perijinan usaha
3. Mengembangkan teknologi di
bidang agribisnis yang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas,
peningkatan mutu dan diversifikasi produk olahan baik untuk usaha kecil,
menengah dan besar berupa: a) teknologi biologis (benih variatas) yang sesuai
permintaan pasar, b) teknologi pengolahan produk pertanian untuk berbagai skala
usaha, c) teknologi pengepakan/pengemasan dan distribusi untuk menjamin produk
tetap dalam kondisi segar sampai ke konsumen akhir dan d) teknologi budidaya
untuk memberikan hasil keuntungan yang tinggi seperti mekanisasi pertanian
4. Penyusunan master plan
pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah.
Master plan ini disusun berdasarkan hasil perencanaan partisipatif masyarakat
bersama dengan pemerintah daerah sehingga program yang disusun lebih akomodatif
5. Penetapan lokasi agropolitan
dimana kegiatan ini dimulai dan usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah
provinsi. Untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan
agropolitan dengan terlebih dahtilu melakukan identifikasi potensi dan masalah
untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan) antara lain:
potensi SDA, SDM, kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya. Sebagian langkah
awal pada tahun 2002 telah ditetapkan 6 provinsi sebagai lokasi rintisan pengembangan kawasan
agropolitan yaftu rneliputi Provinsi Sumatera Barat (Kab. Agam dengan komoditi
unggulan peternakan), Provinsi Bengkulu (Kab. Rejang Lebong dengan komoditi
unggulan Hortikultura), Provinsi Jawa Barat (Kab. Cianjur dengan komoditi
unggulan perkebunan), Propoinsi O.I Yogyakarta (Kab, Kulon Progo dengan
komoditi unggulan perkebunan), Provinsi Bali (Kab. Bangli dengan komoditi
unggulan perkebunan), Provinsi Sulawesi Selatan (Kab. Barru dengan komoditi
unggulan peternakan) dan Provinsi Gorontalo dengan komoditi unggulan tanaman
pangan
6. Melakukan gerakan dan
sosialisasi program pengembangan kawasan agropolitan kepada seluruh
stakeholders yang terkait dengan pengembangan program agropoiitan baik pusat
maupun daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu,
terkordinasi dan terintegrasi dengan baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengembangan kawasan
agropolitan merupakan suatu strategi yang mutlak diperlukan, bukan hanya karena
terdapatnya ketimpangan antara kawasan pedesaan dengan perkotaan akan tetapi
juga karena tingginya potensi yang tersedia di pedesaan yang dapat dimanfaatkan
guna mendorong keberhasitan pembangunan.
Pengembangan kawasan
agropoiitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat
kawasan dan sektor yang dikembangkan bersifat spesifik lokal, pengembangan
kawasan agropolitan dapat meningkatkan produksi aan pendapatan masyarakat,
disamping sektor yang dipilih merupakan basis aktivitas masyarakat.
Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti
mengingat sektor yang dipilih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif
dibandingkan dengan sektor lainnya.
Komoditas dapat menjadi
penggerak ekonomi di pedesaan. Dalam kawasan pertanian yang akan dijadikan
kawasan agropolitan, adapun komoditas unggulan yang diminta pasar akan
memberikan efek multiplier yang tinggi sehingga dapat menjadi penggerak ekonomi
bagi masyarakatnya.
Bila dalam satu kawasan
terdapat lebih dari satu komoditas unggulan maka diharapkan akan terwujud program one village one commodity.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2003. Hortikultura. Direktorat
Pengembangan Usaha Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura. Departemen Pertanian R.I. Jakarta.
Anonymous. 2002. Pedoman Umum Pengembangan
Kawasan Agropolitan Dan Pedoman Rogram Rintisan Pengembangan Kawasan
Agropolitan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen
Pertanian R.I. Jakarta.
Bryant C and Louise G. White. 1982. Managing
Development In The Third World. Westview Press, Boulder Colorado.
Gumbira
ES dan Burhanuddin. 1996. Strategi Pengembangan Agribisnis Magister
Manajemen Agribisnis. IPB. Bogor.
Kartasasmita
G. 1996. Pernbangunan Untuk Rakyat. Memadukan pertumbuhan dan
pemerataan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Munandar, S. 2001. Pengembangan SDM Pertanian
Masa Depan. Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.
Scottt, Cynthia D, and Dennis T. Jaffe. 1994.
Empowerment Building a Commrted Workforce. Kogan Page Ltd. Pentonville Road. London.
Soenarno. 2003.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Makalah
Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah. Departemen pemukiman
dan prasarana wilayah R.I. Jakarta.
Suprapto
A.2001. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Agribisnis.
Departemen Pertanian R.I. Jakarta.
Suwandi. 2005. Agropolitan. Merentas Jalan
Meniti Harapan. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar