LAMANYA
PENYIMPANAN DAN WAKTU PERENDAMAN DENGAN LARUTAN KNO3 DAPAT
MEMATAHKAN DORMANSI BENIH PADI
(Hasil Kajian)
PENDAHULUAN
Padi
merupakan salah satu komoditi pangan yang utama bagi penduduk Indonesia. Dalam
usaha memenuhi kebutuhan pangan tersebut perlu diperhatikan mutu benih yang
akan ditanam agar diperoleh hasil dan kualitas yang tinggi.
Akhir-akhir
ini di Indonesia sudah mulai disadari betapa pentingnya pemakaian benih unggul
yang bermutu tinggi dalam peningkatan produksi pangan. Benih unggul yang
bermutu tinggi adalah benih yang mempunyai daya kecambah dan kemurnian yang
tinggi serta bebas dan hama dan penyakit.
Benih
padi yang disebarluaskan kepada petani yaitu dalam kelas benih sebar yang telah
mempunyai sertifikasi agar mutu benih dapat terjamin. Standar mutu behih sebar
yaitu persentase benih murni minimal 98%, daya kecambah minimal-80%, kadar air
benih 13%, persentase kotoran benih maksimal 2%, benih tanaman lain maksima!
0,5%, varietas lain maksimal 4 butir per kg dan benih reruputan maksimal 0,1%.
Manfaat
dari penggunaan benih bermutu tersebut adalah dapat mempertahankan sifat-sifat
unggul, menaikkan daya hasil 5 - 15%, pemakaian benih persatuan luas areal
tanaman lebih hemat dari 30 - 50 kg per hektar menjadi 20 - 25 kg per hektar,
pertumbuhan tanaman dan tingkat kemasakan di lapangan seragam dan lebih merata
sehingga panen dapat dilakukan sekaligus, rendemen beras tinggi dan mutu beras
seragam (Anonymous, 1977).
Pengujian
viabilitas benih di laboratorium bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang
mutu benih (Hardini, 1981). Namun dalam kenyataannya pengujian daya kecambah
benih sering terbentur pada masalah dormansi, sehingga sulit untuk menentukan
persentase daya kecambah benih.
Banyak
benih yang tidak berkecambah bila diletakkan pada lingkungan yang favorable
untuk perkecambahan yaitu persediaan air cukup, suhu yang cocok dan komposisi
udara yang normal. Benih tersebut dapat ditunjukkan sebagai benih hidup, karena
benih dapat dirangsang untuk berkecambah dengan berbagai pertakuan istimewa.
Benih yang demikian dikatakan sedang tidur (dorman) atau dalam keadaan
dormansi.
Dormansi
sendiri dapat disebabkan oleh tidak dewasanya embrio, kulit biji tidak
permeabel terhadap air atau gas-gas, halangan perkembangan embrio oleh
sebab-sebab mekanis, kebutuhan khusus untuk suhu dan cahaya atau kehadiran
bahan-bahan penghambat perkecambahan. Benih-benih demikian akan berkecambah dalam keadaan biasa bila
disimpan untuk jangka waktu tertentu. Benih-benih demikian dikatakan
membutuhkan waktu after ripening. After ripening dapat didefinisikan sebagai
setiap perubahan yang terjadi dalam benih selama penyimpanan dan sebagai akibat
perkecambahan diperbaiki (Harjadi, 1974).
Menurut
Evenan (dalam Daryasih, 1982) dormansi adalah suatu keadaan dimana benih yang
hidup gagal berkecambah dalam keadaan lingkungan (kelembaban, suhu dan cahaya)
yang sesuai untuk perkecambahan.
Hardini
(1981) mengatakan bahwa biji dorman adalah biji hidup yang tidak mampu
berkecambah pada lingkungan yang sesuai bag! perkecambahannya tetapi tidak
termasuk biji keras.
Melihat
keadaan kulitnya dormansi pada benih padi kecil sekali disebabkan
olehrkekerasan kulit, karena kulit padi mudah pecah dan mudah ditembusi air.
Dormansi ini terjadi karena suatu faktor yang ada dalam benih padi tersebut
yaitu zat penghambat. Pada benih yang dorman zat penghambat ini perlu
dihilangkan agar mampu berkecambah. Salah satu caranya adalah dengan penggunaan
bahan kimia untuk mematahkan dormansi pada benih padi yaitu larutan KNO3.
Daryasih (1982) menegaskan, untuk mengatasi dormansi pada benih padi dapat
dilakukan dengan merendam benih dalam larutan KNO3.
DORMANSI
BENIN DAN MASALAHNYA
Benih
dan biji mempunyai arti dan pengertian yang bermacam-macam tergantung dari mana
segi mana peninjauannya. Ditinjau dari bidang agronomi yang dimaksud dengan
benih adalah fase generatif dari siklus kehidupan tumbuhan untuk memperbanyak
dirinya, pada padi yang dikatakan benih (seed) yaitu gabah (caryopsis) (Kamil,
1979).
Contoh
benih yang diuji biasanya sangat sedikit dibandingkan dengan populasi yang
diwakilinya. Metode pengambilan contoh uji harus dapat menghasilkan contoh yang
mencerminkan kelompok benih dari mana contoh tersebut diperoleh. Alat pembagi
mekanis (mechanical devider) tipe Burner merupakan salah satu alat untuk
memperoleh contoh uji yang cukup baik (Anonymous, 1984).
Contoh
berrrh adalah benih yang diambil dari suatu kelompok benih untuk dikirim ke
laboratorium benih guna pengujian mutu, sedangkan contoh uji yaitu sebagian
dari contoh benih yang akan diuji mutunya sehingga dapat mewakili mutu kelompok
benih tersebut.
Menurut
Delouche (dalam Sadjad, 1972) mutu benih mencakup mutu genetis, mutu fisis dan
mutu fisiologis. Mutu genetis ditentukan oleh tingkat kemurnian varietas, mutu
fisis oleh tingkat kebersihan fisis. Sedangkan mutu fisiologis benih mencakup
tingkat kemunduran benih, viabilitas benih dan tingkat tahan simpan benih.
Sadjad
(1974) menyatakan untuk pengujian di laboratorium, keadaan lingkungan yang
menguntungkan bag! tanaman makanan dapat dicapai dengan menggunakan alat
pengecambah benih (germinator) dan substrat kertas yang dapat mengontrol secara
optimal kebutuhan benih akan air, udara, panas dan cahaya. Sedangkan menumt Me
Kay (dalam Pian, 1978) suhu dalam alat pengecambah benih mendekati suhu optimum
yang diperlukan untuk perkecambahan benih.
Tidak
semua benih yang ditanam dalam kondisi optimum man berkecambah, meskipun benih
tersebut tidak mati. Benih yang bersifat demikian disebut benih dorman (Sadjad,
1980). Benih dorman menurut Sadjad (1972) yaitu benih yang menunjukkan gejala
hidup yang tidak diwujudkan oleh gejala tumbuh atau terhambat pertumbuhannya
yang disebabkan oleh faktor dalam dari benih itu sendiri.
Benih
dari berbagai spesies tanaman mempunyai sifat domrtan sejak waktu masak dan
terlepas dari tanaman induknya sampai suatu waktu tertentu dimana tempat dan
keadaan keliling cocok untuk berkecambah. Kemampuan benih untuk menunda
perkecambahan sangat penting bagi dunia tanaman untuk mempertahankan jenisnya.
Tanaman yang lama dipelihara oleh manusia berkurang sifat dormansinya bila
dibandingkan dengan jenis yang masih liar.
Menurut
Haper (dalarn Daryasih, 1982) dormansi dapat dibedakan dalam 3 tipe, yaitu (1)
dormansi bawaan (innate dormancy), (2) dormansi induksi (induced dormancy), (3)
dormansi paksaan (enforced dormancy).
Dormansi
bawaan disebut juga dormansi primer adalah keadaan dimana benih pada saat
terlepas dari tanaman induknya tidak mampu/gagal berkecambah, tetapi benih
tersebut dapat berkecambah setelah jangka waktu tertentu.-lni disebabkan karena
embrionya rudimeter atau masih dorman, dimana embrio tersebut berkembang baik
dalam berat, ukuran hingga siap untuk berkecambah. Dormansi benih yang terjadi
pada sebagian tanaman terrnasuk dalam tipe dormansi bawaan.
Dormansi
induksi disebut juga dengan dormansi sekunder yaitu keadaan benih pada saat
terlepas dari tanaman induknya akan secara rnudah berkecambah dalam lingkkungan
yang sesuai, tetapi benih tersebut kehilangan kesiapan berkecambah karena
sebab-sebab tertentu yang merupakan faktor diluar benih.
Harjadi
(1974) menyatakan, dormansi sekunder kadang-kadang ditimbulkan bila benih diberi
semua kondisi yang dibutuhkan kecuali satu yaitu kegagalan member! cahaya atau
dengan menyinari benih yang tertambat cahaya.
Dormansi
paksaan dikenal dengan dormansi tingkungan yaitu suatu keadaan dimana benih
tidak dapat berkecambah karena satu atau beberapa faktor keliling tidak ada
atau sesuai, urnpamanya cahaya, gas-gas (O2, CO2). KaTiil (1979)
menambahkan, adanya air sesuai dengan fungsinya yaitu melunakkan kulit biji
yang menyebabkan pengembangan embrio
dan endosperm untuk masuknya oksigen ke dalam set secara difusi, CO2 yang dihasilkan oleh pernapasan
lebih mendifusi keluar. Air juga berguna untuk mengencerkan protoplasma
sehingga dapat rnengaktifkan bermacam-macam fungsinya, air sebagai alat
transport larutan makanan dari endosperm atau cotyledone ke titik tumbuh pada embryonic axis yang
diperlukan untuk pembentukan protoplasma baru, suhu yang pantas tidak kalah
pentingnya bagi
perkecambahan benih.
Sadjad
(1974 - 1975) menyatakan, pengaruh suhu tidak terletak kepada lamanya atau
tingginya suhu tetapi kepada perubahan suhu dalam benih. Jadi terdapat hubungan
antara suhu dengan faktor lain, dalam proses perkecambahan benih, baik faktor
benihnya sendiri maupun faktor lingkungan.
Menurut
Sadjad (1980), mekanisme dormansi disebut dormansi fisiologik, dapat terjadi
oleh beberapa sebab antara lain: (1) kulit benih yang tidak permeabel terhadap
air atau gas-gas O2 dan CO2. Ini akan menghalangi proses imbibisi sehingga
benih tidak akan berkecambah, walaupun faktor lingkungan cukup memungkinkan
(Daryasih, 1982). (2) benih baru dipanen dikenal dengan istilah benih yang
belum masak fisiologis, secara anatomik telah dipandang masak tetapi secara
fisiologis belum. (3) benih berbagai tanaman pohon mengalami masa dorman karena
embrionya masih dorman, ini perlu mengalami stratifikasi di dalam tanah, pasir
atau substrat lain pada suhu rendah smpai beberapa bulan agar berkecambah. (4)
embrio yang kurang masak (rudimeter). Berbagai benih adakalanya tidak memiliki
embrio sama sekali, memiliki embrio tap^ tidak sempurna, memiliki embrio
sempurna tapi kurang masak. Benih tersebut harus ditempatkan dalam media tumbuh
beberapa lama, sehingga menjadi masak dan akhirnya mau berkecambah. (5) adanya
zat-zat penghambat perkecambahan antara lain: (a) larutan yang bernilai osmotik
tinggi, seperti garam NaCI, larutan Manitol, (b) bahan-bahan yang mengganggu
proses metabolism yang umumnya menghambat pernapasan seperti Sianida,
Dinitrofenol, Azide, Fluride, Hydroxylamine, (c) herbisida 2,4 - D, (d)
persenyawaan fenolik, caumarin, auxin dan bahan-bahan dalam buah. Daryasih
(1982) menegaskan, semua persenyawaan tersebut dapat menghambat perkecambahan,
tetapi tidak dipandang sebagai penyebab dormansi.
PEMATAHAN
DORMANSI BENIH
Leopold
(dalam Danoesatro, t.t) membagi usaha pematahan dormansi dalam empat kategori:
(1) periakuan mekanis, (2) perlakuan dengan cahaya, (3) perlakuan dengan suhu
dan (4) perlakuan dengan zat kimia.
Daryasih
(1982), menjelaskan perlakuan secara mekanis dengan istilah stratifikasi yaitu
mengikir kulit biji, menggunting atau mengamplas bagian ujung, mengiris dan
menusuk punggungnya. Perlakuan memberikan cahaya dan suhu dengan istilah
stratifikasi atau fisis yaitu menggunakan suhu rendah dan kelembaban tinggi
dapat dilakukan dengan cara: (a) pendinginan, benih setelah ditanam dalam
substrat dimasukkan dalam ruangan, suhu diatur 5 - 10° C selama 7 hari, (b)
pemanasan, benih dimasukkan dalam oven pada suhu antara 30 - 40°C setema 4-7
hari, (c) pencucian, benih dicuci atau direndam dalam air mengalir selama 12-24
jam sebelum dilakukan pengujian daya kecambah.
Menurut
Soetopo (1985), perlakuan menggunakan bahan kimia dengan tujuan agar kulit biji
lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi, yaitu dengan memberikan
larutan KNO3. Daryasih (1982) menambahkan penggunaan dengan cara
merendam benih dalam larutan KNO3 konsentrasi 3% atau substrat
kertas yang dijenuhkan dalam larutan KNO3 0,2%. Lama perendaman tergantung dari
umur benih dan varietas, sedangkan Harjadi (1974) menyatakan, rangsangan
perkecambahan yang diperoleh dengan KNO3 tergantung konsentrasinya.
Zat-zat
lain yang dapat merangsang perkecambahan benih dorman adalah: Thirea, Ethylene,
Ethylene Chlorhydrine, Gibbereline, IAA dan Hydrogen Peroxide (Daryasih, 1982,
Harjadi, 1974 dan Copeland, 1976).
Benih
dorman dapat diketahui viabilitasnya scara cepat yaitu dengan uji cepat
viabilitas benih secara biokimia dengan menggunakan larutan Tetrazolium.
Tetrazolium ditemukan oleh Lakon (1942) dan mengembangkannya sebagai uji cepat
viabilitas benih tahun 1953 (Anonymous, 1982).
Hidup
matinya benih didasarkan atas pewarnaan jaringan sel hidup oleh suatu indikator
yaitu 2, 3, 5. Triphenil Tetrazolium Chlorida yang merupakan tepung berwarna
kekuningan dan bersifat larut dalam air. Apabila larutan garam tetrazolium
tersebut diimbibisi oleh benih, maka dengan bantuan enzirn dehidrogenase yang
terdapat dalam sel-sel hidup akan terjadi proses reduksi sehingga terbentuk zat
triphenil formazan yang mengendap dan berwarna merah. Endapan merah ini sangat
stabil sehingga tidak larut dalam pencucian.
Jaringan
hidup berwarna merah dan jaringan yang akan mati berwarna putih atau tidak
berwarna. Selain benih dengan pewarnaan sempurna/seluruhnya merah dan benih
mati tidak berwarna, terdapat benih dengan pewarnaan tidak merata atau warnanya
muda/pucat. Perbandingan antara bagian yang merah dan bagian yang tidak
berwarna serta daerah dimana necrotic itu terdapat, menentukan hidup atau
matinya benih (Anonymous, 1984). Uji tetrazolium merupakan metode sederhana
dapat dilakukan dalam satu hari (Suseno, 1974 -1975).
Keuntungan
dari uji tetrazolium ini adalah dapat segera diketahui hasilnya dalam waktu
singkat, dapat digunakan bagi pengujian benih yang masih dorman. Sedangkan
kerugiannya yaitu sukar/sulitnya diperoleh bahan tetrazolium, membutuhkan
teknik dan latihan khusus untuk menafsirkan secara tepat. Uji tetrazolium ifti
spring disebut dengan uji topografi karena pola/topografi dari hastl pewarnaan
merupakan aspek penting dalam menginterprestasikannya (Copeland,1976).
Reaksi
larutan tetrazolium dengan bantuan enzim
dehidrogenase menghasilkan formazan berwarna merah.
N-B-C6H5 N-NH-C6H5
C6H5-C
+2e+2H+ C6H5-C +H+CI
N=N-C6H5 N-N-C6H5
Cr
2, 3, 5. Triphenil Tetrazolium
Chlorida Formazan
(merah)
(tidak berwama)
LAMANYA PENYIMPANAN DAN WAKTU
PERENDAMAN DENGAN LARUTAN KNO3 DAPAT MEMATAHKAN DORMANSI BENIH PADI
Kamil
(1979) dan Hardini (1981) menyatakan, benih pada saat masak fisiologis
mempunyai berat kering, viabilitas dan vigor yang maksimum. Tinggi rendahnya
tergantung dari keadaan pertumbuhan di lapangan sampai saat benih masak.
Vaughan
(dalam Sadjad, 1972) menyatakan kemampuan benih untuk bertahan dalam viabilitas
ditentukan oleh faktor-faktor: (1) Kadar air benih pada awal penyimpanan, (2)
kelembaban lingkungan simpan, (3) suhu tempat penyimpanan, (4) sifat-sifat
keturunan, (5) susunan gas lingkungan simpan, (6) kerusakan mekanis saat panen
dan pengolahan, dan (7) penyerangan mikroorganisme dalam penyimpanan serta (8)
susunan kimia benih.
Harrington
(dalam Hardini, 1981) menyatakan pengaruh kadar air dan suhu terhadap daya
simpan benih sehubungan dengan viabilitas benih, mengikuti " rule of
thumb" yaitu: (1) untuk tiap penurunan kadar air 1% daya simpan benih
menjadi dua kali, berlaku untuk benih kadar air 5 - 14%, (2) setiap penurunan
suhu 5°C daya simpan menjadi dua kali berlaku bagi suhu simpan 0° - 45°C atau
sebaliknya.
Lama
penyimpanan dan waktu perendaman dengan larutan KNO3 dapat
mematahkan dormansi benih padi dan juga dapat mempengaruhi kadar air benih, potensi
tumbuh maksimum dan daya kecarnbah benih.
Kadar
air benih semakin rendah dengan semakin lama penyimpanan (1 bulan). Rendahnya
kadar air benih itu karena adanya penguapan air dari dalam benih menuju
keseimbangan dengan lingkungannya dan proses respirasi yang terjadi pada benih
selama periode simpan (Gema putri, 1986).
Potensi
tumbuh maksimum benih sangat dipengaruhi oleh periode simpan dan waktu
perendaman benih dengan larutan KNO3. Penyimpanan benih selama 1 bulan
cenderung meningkatkan potensi daya tumbuh benih (89%), hal ini dapat dilihat
dari banyaknya dijumpai benih yang berkecambah normal. Akan halnya benih yang
baru dipanen mempunyai embrio yang rudimeter atau embrio yang belum berkembang
dengan sempurna sehingga untuk perkecambahan yang lengkap diperlukan jangka
waktu tertentu (Suseno, 1974/1975). Demikian juga dengan waktu perendaman 48
jam sangat mempengaruhi potensi daya tumbuh maksimum benih padi dibandingkan
dengan benih-benih yang tidak dilakukan perendaman dengan larutan KNO3.
Hal ini disebabkan karena benih yang baru dipanen
masih dalam keadaan dorman, sehingga tidak mampu berkecambah dengan sempurna.
Soetopo (1985) menyatakan penggunaan KNO3 pada benih menyebabkan
kulit benih akan lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi, selain
itu larutan KNO3 yang dihisap di dalam jaringan benih akan
mematahkan domnansi benih, mengaktifkan daya kerja enzim sehingga merangsang
benih untuk berkecambah.
Daya
kecambah benih juga sangat dipengaruhi oleh periode simpan dan waktu perendaman
dengan larutan KNO3. Persentase daya kecambah benih lebih tinggi
pada penyimpanan 1 bulan. Secara anatomik maupun fisiologik benih telah masak,
dengan kata lain masa dormansi benih telah habis, sedangkan untuk mematahkan
dormansi benih larutan KNO3 3% dapat diberikan selama 24-48 jam akan
memberikan hasil yang nyata (Suseno, 1974 -1975).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabiiitas
benih dalam penyimpanan terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
yaitu: (a) jenis dan sifat benih, (b) viabiiitas awal benih, (c) kandungan air
benih. Sedangkan faktor luar yaitu: (a) temperatur, (b) kelembaban, (c) gas
disekitar benih, dan (d) mikroorganisme (Soetopo, 1985).
Schoorel
(dalam Sadjad, 1972) memberikan petunjuk tentang indikasi dari kemunduran benih
yaitu: (1) perkecambahan berlangsung lambat, (2) antara periode hitungan kesatu
dan kedua terdapat perbedaan yang besar dalam hasil uji, (3) bibit tumbuh lemah
dan lambat, (4) respon yang lemah dari kecambah, (5) besarnya persentase dari
kecambah yang tidak normal, (6) cepat membusuk dan tidak tumbuh, (7) bibit pada
taraf awal terserang penyakit, (8) ujung akar tidak tumbuh normal. Selanjutnya,
menurut Deloche (dalam Sadjad, 1972) menurunnya daya berkecambah benih
merupakan indikasi terakhir dari proses kemunduran. Cara untuk menentukan
tingkat kemunduran benih dapat dilihat dari perubahan warna kulit benih, berat
jenis dan tingkat permeabilitas benih.
KESIMPULAN
Benih
padi yang baru dipanen mempunyai masa dormansi, untuk penanaman di lapangan
sebaiknya dinantikan saat panen yang tepat yaitu benih telah berumur 1 bulan
setelah panen.
Lama
penyimpanan berpengaruh terhadap kadar air benih, potensi tumbuh maksimum benih
dan daya kecambah benih padi.
Perendaman
benih padi dengan larutan KNO3 3% selama 24 - 48 jam dapat
mematahkan dormansi benih padi, hal ini dapat dijumpai potensi tumbuh maksimum
benih yang tinggi dan persentase daya kecambah benih yang tinggi. (Eshar 2013)
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous.
1977. Pedoman Bercocok Tanam Pad/, Palawija, Sayur-Sayuran. Badan Pengendalian
Bimas. Jakarta.
—————— 1981.
Kadar Air Benih dan Metode Penerapannya. Latihan Mutu Benih. Jakarta.
——————. 1982.
Uji Cepat Viabilitas Benih. Latihan Pembinaan Mutu Benih. Jakarta.
—————— 1984.
Pedoman Pengujian Laboratorium. Direktorat Bina Produksi
Tanaman
Pangan. Jakarta. Copeland, L. 1976.
Principles of Seed Science and Technology. Burgess
Publishing
Company. Minnesota. Danoesastro,
H. t.t. Zat
Pengatur Tumbuh Dalam
Pertanian. Yayasan
Pembinaan
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Daryasih, S.
1982. Dormansi Benih. Latihan Pembinaan Mutu Benih. Jakarta. Harjadi, S.
S. 1974. Dormansi Benih. Dalam.
Preceding Kursus Singkat
Pengujian
Benih IPB. Hal 73 - 92. Hardini. 1981. Pedoman Pengujian Benih Laboratories.
Latihan Pembinaan Mutu
Benih.
Jakarta. Kamil, J. 1979.
Teknologi Benih. Jilid I.
Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian
Unand. Padang. Sadjad, S. 1972. Kertas Merang Untuk Menguji Viabilitas Benih di
Indonesia. Beberapa
Penemuan Dalam Bidang Teknologi Benih. IPB.
—————. 1974.
Uji Berkecambah Benih Makanan Penting di Indonesia. Dalam. Preceding Kursus
Singkat Pengujian Benih IPB. Hal 199 -218.
—————.
1974/1975. Teknologi Benih Dengan Masalah Uji Viabilitas Benih. Dalam.
Dasar-Dasar Teknologi Benih. Capita Selecta. Departemen Agronomi IPB. HaM27 -
145.
Suseno, H.
1974/1975. Fisiologidan Biokimia Kemunduran Benih. Dalam. Dasar-Dasar Teknologi
Benih. Capita Selecta. Departemen Agronomi IPB. Hal 98-126.
Soetopo, L.
1985. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
MAS BENTUK LARUTAN KNO3 GIMANA YA?
BalasHapus