Minggu, 23 Februari 2014

MUTU INTENSIFIKASI



PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI PENINGKATAN MUTU INTENSIFIKASI

1.    PENDAHULUAN

1.1  Latar Bdakang

Upaya memenuhi kebutuhan pangan beras Nasional bertagai upaya telah melaksanakan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas lahan melalui tehnologi Intensiflkasi, Ekstensifikasi dan Diversifikasi. Khususnya melalui Intensifikasi yang diharapkan recara Jebih cepat dapat meningkatkan produktivitas dan produksi lahan teteh berhasil dengan mengesankan yaitu dengan menggunakan tehnologi Panca Usaha yang kemudian dikembangkan menjadi Sapta Usaha.

Mengenai pelaksanaan Intensifikasi di Provinsi Aceh terus berkembang, mulai dari Insus biasa (Inmum), Insus Paket B, C dan D. Secara umum usaha-usaha yang dilakukan telah berhasil meningkatkan produksi padi daerah ini. Pada awal Pelita I (1969), rata-rata produksi baru mencapai 3,0 Ton/Ha dan pada akhir Pelita V (1991) sudah mencapai rata-rata produksi 6,0 Ton/Ha.

Dalam Penerapan Tehnologi produksi Sapta Usaha oleh petani, temyata oelum merata secara sempuma dan menyeluruh. Kendala utama dalam pencapaian produksi yang lebih tinggi adalah tingkat oenerapan mutu intensifikasi oleh kelompok tani, semakin baik pelaksanaan intensifikasi dan semakin tinggi pula produksi yang diperoleh petani.

Pada dasarnya Insus sebagai taraf tertinggi pelaksanaan Intensifikasi sekarang ini, yang merupakan kerja sama petani dan anggota kelompok tani untuk menerapkan tehnologi yang sama, petani dan anggota kelompok tani untuk menerapkan tehnologi yang sama menuntut adanya kemampuan dari anggota kelompok tani untuk menyediakan dan mempergunakan sarana produksi sesuai dengan rekomendasi anjuran. Kelompok tani yang kita miliki di Aceh sebagian besar masih kelompok-kelompok Pemula, Lanjut dan Utama berdasarkan Pelita I (satu) sampai dengan pelita V (lima) yang kemampuannya masih antara 250-500 dari jumlah total 1.000 nilai pelaksanaan yang diharapkan dari 10 jurus kemampuan kelompok tani dan baru adanya peningkatan kelas kelompok utama terjadi pada Pelita VI (enam), hal inilah yang perlu kita perbaiki dan dipacu untuk memperkuat peningkatan kemampuan kelompok tani, sehingga mereka dapat berusaha tani lebih baik dan berproduksi tinggi.

1.2. Maksud dan Tujuan

Penulisan karya tulis atau karya ilmiah ini yang merupakan hasil pengkajian di bidang pertanian dengan maksud dan tujuan antara lain :
a.     Agar para pembaca mampu memahami beberapa peluang dan upaya peningkatan mutu intensifikasi, baik bagi pelaku utama maupun pelaku usaha dalam pengelolaan usaha tani secara effektif dan efisien.

b.     Diharapkan arah pembiraan pada keiompok tani Madya dan Utama sesuai dengan tingkat kemandiriannya, agar mampu menerapkan inovasi Sapta Usaha secara baik dan benar, datem upaya meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan disamping tidak kalah pentingnya peran dan kemampuan keiompok tani Pemula dan kelompok tani lanjut.

II.            TEKNOLOGI PRODUKSI DAN PENERAPANNYA

Teknologi Produksi yang berperan penting dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas gabah mulai dikembangkan mu!a-mula dengan narna Panca Usaha yang terdiri dari pengolahan tanah, dan bercocok tanam yang baik, pengaturan air, penggunaan benih unggui, pemupukan yang baik, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Teknologi ini berkembang menjadi Sapta Usaha tambahan penanganan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.

Berdasarkan hal tersebut kita mencoba melihat secara keseluruhan, faktor-faktor mana saja dari teknologi tersebut yang telah dilaksanakan secara sempurna di lapangan. Mana diantara faktor-faktor tersebut yang segera dapat diperbaiki dan memberikan sumbangan yang cukup besar untuk upaya peningkatan produksi dalam jangka pendek (daiam waktu yang relative tidak terlalu lama). Demikian juga dengan pertirnbangan terhadap petani dalam pelaksanaannya dari segi teknis, ekonomi dan sosialnya.

Berdasarkan beberapa pandangan dan kenyataan dilapangan urutan-urutan sumbangan terbesar yang segera dapat memberikan usaha peningkatan hasil dalam waktu relative singkat sebagai berikut :

1.    Penggunaan Benih Unggul
Berbagai jenis padi unggul sejak awal Pelita I sudah diperkenalkan dan digunakan oleh petani. Dari berbagai jenis yang diperkenalkan satu dan lain varietas saling bertukar dari lapangan, karena berbagai hal antara lain : Kesesuaian tempat, rasa yang kurang enak, tidak tahan serangan hama dan penyakit, produksi rendah dan lain-lain.

Tanggapan
1.    Daya tampung benih oleh penangkar
2.    Pihak BBU masih sulit mensuplai benih.

Pergiliran varietas belum dilaksanakan secara baik antar musim. Demikian juga penggantian benih belum dilakukan setiap musim, sehingga kemudian benih yang digunakan sudah jauh menurun dan kemampuan produksinya pun rendah.



Penyediaan benih bersertifikat (beriebel biru) masih sangat terbatas di daerah, sehtngga sebagian besar masih didatangkan dari luar Aceh. Hal inilah merupakan hambatan utama dllapangan dalam mendorong petanl menggunakan benih unggul bermutu. Anjuran tal tetah sering diberlkan, tetapi petani bila meminta scara tenyak sering benih tidak tersedia cukup dilapangan. Hal ini pula yang mendorong adanya penipuan penjualan benih lokal yang dipasarkan (disertifiksi) kembli oleh pedagang yang akan mencari keuntungan.

2.    Pemupukan Berimbang

Jenis pupuk yang sudah merata penggunaannya di Aceh adalah Urea. TSP, sakalipun belum sesuai dengan rekomendasi. Pada areal Intensifikasi (Insus Paket B, Q dan D) pemakaian pupukUrea dan T5P sudah mendekati rekomendasi.

Dengan pemakaian varietas-varietas padi berproduksi tinggi yang responsive terhadap pemupukan Nitrogen berat maKa produksi meningkat Pemakaian Kalium dari dalam tanah bertambah dari persediaanya dalam tanah berkurang. Pemupukan dengan Kalium masih belum banyak dilaksanakan kecuali pada areal Insus. Pemakaian pupuk pelengkap cair (PPC) dalam kenyataannya baru sedikit pada areal Insus paket D, yang biasa digunakan adalah Hydrasi, Antonik-Metalik dan sedikit sitozym. Padahal melalui pemupukan yang tepat sudah ternyata akan memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dan sudah terbukti dari beberapa percontohan Demplot, Denfarm, dan Dem Area yang dilakukan.

3.    Pengendalian Hama dan Penyakit

Sampai tahun 1986 sebelum dikeluarkan inpres No.3 tahun 1986 upaya penanganan hama dan penyakit tanaman masih dilaksanakan dengan cara perlindungan tanaman yaitu mengadakan penyemprotan tanaman dengan pestisida secara priodik untuk melindungi dari serangan hama dan penyakit.

Sejak adanya Inpres No.3 tahun 1986, konsep penanganan hama telah nerubah menjadi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu dengan menggabungkan semua cara dan dengan membatasi penggunaan pestisida. Pestisida hanya digunakan apabila tidak ada lagi cara yang berhasil dengan tindakan-tindakan lain. Cara pengendalian hama terpadu ini belum digunakan, harganya murah dan dampaknya mudah dilihat oleh petani dilapangan.

Banyak petani yang masih merasa belum puas apabila menyemprot dilapangan tidak melihat langsung hamanya mati. Padahal dalam PHT, tidaklah bermaksud pembasmian/eradikasi, tetapi penyemprotan dimaksudkan untuk menekan populasi hama agar berada dibawah ambang ekonomi.
Kesadaran petani akan hal ini perlu terus menerus ditingkatkan agar mereka benar-benar dan tunit berpafiisipasi aktif melaksanakannya.

4.    Pelaksanaan Pasca Panen

Dalam penanganan pasca panen untuk memperbaiki mutu gabah, baru mendapatkan perhatian besar sejak tahun 1982. Sebelumnya upaya terbanyak yang ditakukan adalah untuk menerapkan teknologi produksi dalam mengejar tingkat produksi yang lebih tinggi persatuan luas areal. Setelah adanya survey JICA dan Dirjentan pada tahun 1981/1982. ternyata kehilangan gabah selama pelaksanaan panen dapat mencapai 12,3 % (rata-rata untuk Aceh) dan adanya penurunan mutu gabah akibat pamupukan (Phui) serta menylmpan gabah dengan kadar air masih diatas 14 %, maka upaya perbaikan pasca panen telah digiatkan sejak tahun 1982.
Beberapa tahapan pasca panen ini sudah berhasil dilaksanakan seperti memperbaiki mutu dengan menghilangkan Phui, tetapi dampak lain timbul yaitu meningkatnya kehilangan bobot karena penggunaan alat-aiat pasca panen yang kurang tepat dan penanganan pekerjaan yang kurang cermat mulai dirasakan.

5.    Pengaturan Air Irigasi

Peranan pengaturan air irigasi memang cukup besar, daiam peningkatan pnoduksi padi, tetapi dalam perbaikan-perbaikan irigasi ini ternyata memakan waktu yang cukup lama, sehingga pembahan dalam waktu cepat kurang dirasakan. Kalau pada areal yang sudah ada irigasinya memang sudah digunakan secara maksimal. Disamping itu penanganan irigasi ini menyangkut lintas Instansi, jadi agak lama memerlukan waktu dalam pembenahannya.

6.    Pengolahan Tanah

Sekitar 30% areal sawah yang ada sudah diolah dengan menggunakan traktor dan kedalaman bajakannya masih sangat minim. Dalam pengolahan tanah ini yang paling penting adalah masaknya tanah yang diolah sebelum tanam. Sering petani menanam padi pada saat rumput belum busuk, sehingga pertumbuhan tanaman lambat, kurang subur dan produksinya pun akan menjadi rendah.

7.    JarakTanam dan Popular Tanam.

Sekalipun anjuran mengadakan tandur jajar dengan jarak tanam teratur 20 x 20 On telah diberikan temyata belum banyak petani yang melaksanakannya secara penuh. Dengan demikian populasl tanaman tidak dicapai secara penuh. Berdasarkan pengamatan dilapangan, jarak tanam yang digunakan maah berkisar 25 x 25 Cm atau 30 x 30 Cm dengan jarak tanam yang belum teratur, populasi tanaman diperkirakan masih berkisar antara 150.000 rumpun/Ha. Dengan demikian produksinya pun akan rendah.

8.    Penyiangan

Anjuran untuk Menyiang tanaman padi pada umur satu bulan dan 55 - 60 hari setelah tanam, sudah lama diberikan kepada petani. Dalam pelaksanaannya dilapangan hanya areal-areal Intensifikasi khusus yang sudah agak tertib menyiang dua kali, sedangkan lainnya baru menyiang satu kali.
Persaingan perakaran padi dengan gulma dalam menyerap pupuk belum begitu disadari oleh petani, karena keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya.


III.    PELUANG DAN UPAYA UNTUK MENINGKATKAN MUTU INTENSIFIKASI

Untuk tebih meningkatkan produkst dan memperbaiki mutu Intensitas dapat dimanfaatkan berbagai peluang dan upaya yang besar sekali sumbangannya antara lain adalah sebagai berikut:

1.    Penggunaan Benih Unggul.

Salah satu faktor produksi utama yang sangat berperan dalam peningkatan produksi atauoun produktivitas perhektar adalah tersedianya benih unggul bermutu yang memenuhi kriteria yaitu sesuai dengan varietas yang dibutuhkan, tersedia dalam jumlah besar, mutu, waktu yang tepat, harga yang terjangkau bagi petani yang membutuhkannya.

Untuk dapat tersedianya benih unggul bermutu bagi petani dalam rangka program Intensifikasi, selama Pelita III dan Pelita IV telah dilaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dibidang perbenihan antara lain memperkuat institusi-institusi perbenihan yang ada seperti Balai-Balai Benih, Balai Pengawasan Mutu dan sertifikasi Benih serta penumbuhan/ pembinaan penangkar-penangkar benih, disamping meningkatkan peranan swasta dibidang perbenihan.

Kebutuhan akan benih bermutu dari tahun ketahun terus meningkat sesuai dengar. meningkatnya kesadaran petani terhadap penggunaan benih unggul bermutu serta meluasnya areal tanam. Kegiatan pengadaan den penyaluran benih merupakan suatu mata rantai kegiatan yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan sesuai dengan adanya kelas benih yaitu Benih Perjenis (BS), Benih Dasar (FS), Benih Pokok (SS), dan Benih Sebar (ES) serta sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, maka perlu pembinaan terhadap pelaksanaan dan penyaluran benih tersebut sejak dari hulu (BS) sampai kehilir (ES), serta peningkatan pengawasan mutu dan sertifikasi benih.

2.    Pemupukan Berirnbang

Dimasa lalu pemupukan berimbang N, P dan K masih kurang mendapat perhatian dari petani, sehingga produksi tingkat padi yang diperoleh masih rendah menyebabkan produksi rendah dan penyediaan P dan K dalarn tanah masih belum menjadi masalah.

Dengan meningkatkan pelaksanaan Intensifikasi dan penggunaan varietas-varietas padi unggul baru yang lebih responsif terhadap pemupukan N berat, tetah jauh dapat: meningkatkan produksl Semakin tingginya produksi yang diperoleh akan semakin banyak pula unsur-unsur P dan K yang diangkut dari dalam tanah. Dengan demikian unsur tersebut semakin berkurang persediaannya dalam tanah.
Pemakaian pupuk N adalah sangat penting untuk memberikan pertumbuhan yang baik dalam meningkatkan produksi. Untuk mempertahankan produksi pada tingkat yang tinggi tersebut unsur P dan K diperlukan dalam keadaan yang cukup dalam memperoleh produksi yang stabil. Sedangkan unsur- unsur tersebut tidak selamanya tersedia dalam keadaan cukup dalam tanahf tertutama unsur Kalium

Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk menghasilkan 1000 Kg gabah diperlukan ± 26 Kg K2O. Pada tingkat produksi 5 Ton/Ha diperluka 130 Kg K2O dan pada tingkat produksi 8 Ton/Ha diperlukan 210 Kg K2O.

Kalium yang dibutuhkan oleh tanaman padi berasal dari: tanah, air irigasi dan pupuk. Setiap jenis tanah mempunyai kadar kandungan K sendiri. Tanah-tanah berpasir umumnya mempunyai kadar K rendah. Tanah-tanah berat umumnya tidak dapat melepaskan K secara tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman yang berproduksi tinggi. Air irigasi hanya dapat mengandung 9 - 90 Kg K2O/Ha. Tetapi air irigasi disamping mengandung K juga mencuci K dimana kehilangan karena pencucian kadang-kadang lebih tinggi dari K yang dibawahnya. Kekurangan K sering terjadi di daerah-daerah yang dilalui air irigasi yang berasal dari daerah berbatu kapur.

Dalam keadaan yang baik, persedian K yang berada dalam tanah dan K yang berasal dari air irigasi dapat mencukupi kebutuhan untuk mencapai tingkat hasil 3 Ton/Ha. Pada tingkat produksi yang lebih tinggi sumber K akan tidak cukup lagi dan perlu ditambah dengan pupuk-pupuk yang mengandung Kalium.

Gejala tanaman padi kekurangan K jarang kelihatan pada waktu tanaman masih muda, tetapi baru kelihatan pada tanaman yang sudah agak tua (1-2 bulan).

Daun-daun tanaman yang kekurangan kalium, kelihatan benwarna hijau tua dengan bercak-bercak ;karat berasal dari atas pada daun-daun tua dan pucuk serta tepi helai daun mejadi nekrosis bewarna coklat kemerahan atau coklat kekuningan. Daun-daun mati sebelum waktunya setelah tanaman berbunga. Daun-daun tua menunduk terutama pada tengah hari dan daun-daun tua menggulung seperti tanaman kekurangan air. Batang tanaman pendek dan kerdil dan mudah rebah. Malai pendek dan kehampaan tinggi. Akar tanaman umumnya kurang berkembang, kecil-kecil dan pendek dengan cabang akar rambut sangat kecil. Warna akar sering berubah menjadi coklat tua, hitam menandakan akar busuk dan kurang berfungsi.

Cara untuk menentukan kebutuhan K pada tanaman dapat dilakukan dengan cara:

a.    Analisa tanah.
b.    Percobaan pemupukan dilapangan dan
c.    Analisa jerami dari percobaan pemupukan.

Berdasarkan hasil berbagai analisa, percobaan dari beberapa tempat telah diperoleh rekomendasi pemupukan untuk mendapatkan produksi yang tinggi sebagai berikut:

Tinqkat Hasil
ton/Ka
             Kebutuhan Pupuk (Kg/Ha)
N                              P2O5                                        K2O
3
4
5
6
Lebih dari 6 Ton

30-50
50-70
70-90
90-120
120-150

0-30
30-50
50-60
60-75
75-90

0-30
30-40
40-60
60-90
90-150


Tergantung pada masing-masing tanah sawah, maka perimbangan pemberian pupuk N, P dan K tersebut dapat digunakan sebagai ancar-ancar. Untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih akurat agar lebih diperbanyak lagi pengujian-pengujian dan percobaan pemupukan setempat dengan berbagai variasi sehingga diperoleh perimbangan yang sesuai dari ketiga jenis pupuk tersebut.

Agar pupuk yang diberikan memberikan hasil yang optimal dianjurkan pemberian pupuk sebagai berikut :
1.    Semua pupuk TSP diberikan sebagai pupuk dasar/pendahuluan
2.    Pupuk N sebagai diberikan dua kali yaitu sebagai pupuk dasar (50%) dan sisanya sebagai pupuk susulan pada saat tanam pada fase promordial (bunting).
3.    Untuk pupuk KCL apabila jumlahnya lebih dari 50 Kg KCL/Ha, agar diberikan dua kali yaitu 50 % sebagai pupuk dasar dan 50% sebagai pupuk pada anakan aktif.
Tetap apabila jumlahnya tidak iebih dari 50 Kg KCL/Ha (± 30 Kg K2O/Ha) agar diberikan sekaligus pada umur 2-3 minggu setelah tanam, Dengan demikian akan diperoteh hasil dan respon yang lebih baik terhadap pemupukan.

3.    Pengendalian Hama Terpadu.

Dari berbagai catatan sejarah perkembangan produksi pertanian tanaman pangan, kerusakan yang dialami akibat serangan hama dan penyakit tanaman tidak pernah berkurang, malahan dirasakan semakin meningkat. Di Indonesia kerugian ini diperkirakan 15 - 20 % dari potensi produksi pertanian total.

Sejak akhir perang Dunia Ke II, diketemukan DDT dan digunakan untuk pengendalian hama, maka harapan, perhatian dan tindakan pengendalian hama banyak dicurahkan pada pestisida dan seakan-akan melupakan cara-cara pengendalian yang lain. Dengan demikian cara berpikir tentang hama dan pengendaliannya menjadi sangat sederhana dan dangkal. Kenyataannya tumpuan harapan pada pestisida tidak terpenuhi dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan hama yang ada dilapangan. Kecenderungan pemakatan pestisida dari tahun 1970-1986 ternyata bukan mengurangi hama. Luas serangan hama wereng coklat pada tanaman padi beserta virus yang ditularkan malah meningkat Pada tahun 1977-1978 di Daerah Istimewa Aceh saja serangan hama wereng coklat telah mencapai 30.000 Ha/Tahun.

Dibandingkan dengan cara-cara pengendalian hama lainnya, pestisida mempunyai banyak kelebihan antara lain : daya racun/bunuh hama yang tepat, berspektrum lebar sehingga dapat disesuaikan dengan keadaan, seringkali memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi bagi petani karena harga pestisida yang tinggi rendahnya akibat subsidi pemerintah yang tinggi. Tetapi penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah-masalah baru yang merugikan dan sulit dipecahkan. Hal ini yang sering terjadi sehingga berakibat negative terhadap program peningkatan produksi yang digalakkan.

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) timbul akibat perkembangan pengendalian hama yang lebih menekankan pada penggunaan pestisida. Dalam PHT, pestisida hanya merupakan pilihan terakhir apabila dengan cara pengendalian yang lain rnarnpu ditanggulangi.

Dalam PHT diutamakan pada penyendalian hama secara alami yaitu menclptakan keadaan lingkungan yang 'tidak menguntungkan perkembangan hama/ tetapi menguntungkan bagi berfungsinya agensia-agensia pengendalian alami seperti serangga, parasit, predator dan patigin hama.

Penggunaan pestisida diusahakan pada saat terakhir dengan tujuan untuk membantu agro ekosistem kembali ke keadaan yang seimbang. Dengan demikian tujuan PHT adalah untuk menekan populasi/kerusakan akibat hama dibawah Ungkatan yang tidak merugikan sehingga memberikan situasi yang mendukung sasaran produksi tetep dapat dicapai dan kerusakan lingkungan dapat ditekan sekecil-kecilnya.

Oleh karena itu ambang ekonomi adalah salah satu komponen utama dalam sistem PHT. Ambang ekonomi digunakan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan dalam penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida hanya dilakukan apabila ternyata populasi atau kerusakan akibat hama telah melampaui nilai ambang ekonomi yang ditetapkan. Dengan cara ini penggunaan pestisida dapat dihemat dan efektifitasnya semakin ditingkatkan.

Secara umum penentuan ambang ekonomi nampaknya sederhana dan ideal. Mengingat sifat dinamika ekosistem dan sistem sosial ekonomi masyarakat maka penetapan ambang ekonomi membutuhkan pendekatan lintas disiplin.

Tujuan PHT bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama, tetapi berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada dibawah suatu tingkatan yang dapat mengakibatkan kerusakan atau kerugian ekonomi. Dengan kata lain tujuannya bukan eradikasi atau pemberantasan hama tetapi berupa pembatasan (containtment). Jadi pada suatu jenjang toieransi manusia terhadap populasi hama atau kerusakan yang diakibatkan dilapangan.


4.    Pelaksanaan Pasca Penen
5.     
Upaya penangana tahun 1982. Kegiatan ini terus berkembang hingga sekarang ini.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan Dirjentan dan JICA pada tahun 1981/1982 total kerusakan/kerugian terbesar yang dialami dalam penanganan pasca panen di Daerah Istimevra Aceh sebekim tahun 1982 adalah menurunnya mutu gabah sebagai akibat penumpukan  phoel dan masih tingginya kadar air gabah sewaktu dilakukan penyimpanan. Gabah sering rnenjadi lapuk dan menghasilkan beras berbutir kuning dan butir merah yang tinggi. Bau bera apek dan rasanya kurang enak.

Dari hasil survey JICA dan Dirjentan pada tahun 1982 tersebut kehilangan bobot selama tahapan-tahapan pasca panen mencapai 12,3 %, sedangkan penurunan kerusakan mutu mencapai 30 %.

Pada akhir tahun 1985 phoei sudah dapat dihilangkan daff mutu gabah juga sudah dapat diangkat kembali, tetapi akhir-akhir ini mulai dir^sakan dampak dari pemakaian power thresher yang semakin berkembang yaitu tingginya kehilangan bobot dan makin meningkatnya beras pecah karena putaran power thresher (RPM) yang digunakan terlalu tinggi (melewati 600-700 putaran/menit).

Untuk mengatasi hal ini perlu adanya psnyuluhan yang itensif guna menyadarkan petani dan para pemilik power thresher, sehingga mereka memahami secara benar tujuan peningkatan produksi yang digalakkan pemerintah. Demikian juga perlu diadakan pengawasan dalam pembuatan dan penggunaan power thresher agar jangan melewati batas putaran yang dianjurkan. Apabila petani dan pemilik power thresher dapat berpartisipasi penuh dalam hal ini, akan dapat menyelamatkan kehilangan hasil antara 5-7 % setiap tahunnya yang akan memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan produksi Daerah Istimewa Aceh.

Dari beberapa factor utama dalam peningkatan produksi ini agar diprogramkan secara cermat di BPP dan WKPP sebagai bahan/materi latihan kepada para penyuluh dan bahan kunjungan penyuluh untuk membimbing kelompok tani dilapangan.


IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian yang dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa peluang dan kesempatan untuk meningkatkan produksi gabah dan para peteku utama di Aceh sangat cukup besar.

4.2.    Saran-saran

Untuk mencapai tingkat produksi yang diharapkan tersebut perlu usaha keras dan kerjasama yang disusun rapi antara petugas penyuluh dan petani bersama kelompoknya. Oleh karena itu disarankan berbagai kegiatan untuk mengsukseskan upaya-upaya pencapaian produksi tersebut sebagai berikut:

1.      Para penyuluh agar benar-benar membina petani dan kelompoknya supaya menerapkan paket tehnologi yang dianjurkan. Tekanan perbsikan paket tehnologi ini terutama pada : penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu dan penanganan pasca panen. Tehnologi ini seperti bercocok tanam, pengaturan jarak tanam dan lain-lain biasanya akan menyusul.

2.      Dalam latihan di BPP kepada para penyuluh juga materi dari keempat faktcr diatas supaya dimantapkan dengan cara membuat percontohan-percontohan seperti Demplot, Denfarm dan Dem area agar ditingkatkan pada empat factor tersebut sehingga petugas dan petani benar-benar memahaminya.

3.      Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan agar dievaluasi setiap tahun dan terus menerus berkesinambungan dalam perbaikan-perbaikan terhadap faktor-faktor yang masih dirasakan selalu jsdi hambatan. (Eshar 2013).


DAFTAR PUSTAKA


Kasumbogo  Untung, DR. Ir. Februari 1984. Pengantar Analisa Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta.

Anonimous. Desember 1977. Diagnosa dan Korekasi Kekurangan Kalium Pada Beberapa Tanaman Tropik, SE. Asia Program Of The Pothash Institut. Edisi kedua.

_______. 1976. Bercocok Tanam Padi dan Palawija. Departemen Pertanian Sekretariat Pengendali Bimas. Jakarta.

_______.1987.   Pedoman  Penyelenggaraan  Supra  Insus  Padi  Sawah. Departemen Pertanian Sekretariat Pengendali Bimas. Jakarta.

_______,1988. Informasi Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Istimewa Aceh Selama Pelita. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-undang No. 12 Tahun 1992. Tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Peraturan Pemerintah Nomor: 14 Tahun 1995. Tentang Perbenihan Tanaman.

Keputusan   Menteri Pertanian Nomor: 460/KPTS/ORG/XI/1971;Jo Nomor.
671/KPTS/ORG/2/1977 dan Nomor: 415/KPTS/UM/71/1979 diperbaiki
dengan     Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 803/KPTS/OT.210/7/1997. Tentang Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Bina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar