PENINGKATAN
PRODUKSI PADI MELALUI PENINGKATAN MUTU INTENSIFIKASI
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Bdakang
Upaya memenuhi kebutuhan pangan beras Nasional
bertagai upaya telah melaksanakan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas
lahan melalui tehnologi Intensiflkasi, Ekstensifikasi dan Diversifikasi.
Khususnya melalui Intensifikasi yang diharapkan recara Jebih cepat dapat
meningkatkan produktivitas dan produksi lahan teteh berhasil dengan mengesankan
yaitu dengan menggunakan tehnologi Panca Usaha yang kemudian dikembangkan menjadi Sapta Usaha.
Mengenai pelaksanaan Intensifikasi di Provinsi Aceh
terus berkembang, mulai dari Insus biasa (Inmum), Insus Paket B, C dan D.
Secara umum usaha-usaha yang dilakukan telah berhasil meningkatkan produksi
padi daerah ini. Pada awal Pelita I (1969), rata-rata produksi baru mencapai
3,0 Ton/Ha dan pada akhir Pelita V (1991) sudah mencapai rata-rata produksi 6,0
Ton/Ha.
Dalam Penerapan Tehnologi produksi Sapta Usaha oleh
petani, temyata oelum merata secara sempuma dan menyeluruh. Kendala utama dalam
pencapaian produksi yang lebih tinggi adalah tingkat oenerapan mutu
intensifikasi oleh kelompok tani, semakin baik pelaksanaan intensifikasi dan
semakin tinggi pula produksi yang diperoleh petani.
Pada dasarnya Insus sebagai taraf tertinggi
pelaksanaan Intensifikasi sekarang ini, yang merupakan kerja sama petani dan
anggota kelompok tani untuk menerapkan tehnologi yang sama, petani dan anggota
kelompok tani untuk menerapkan tehnologi yang sama menuntut adanya kemampuan
dari anggota kelompok tani untuk menyediakan dan mempergunakan sarana produksi
sesuai dengan rekomendasi anjuran. Kelompok tani yang kita miliki di Aceh
sebagian besar masih kelompok-kelompok Pemula, Lanjut dan Utama berdasarkan
Pelita I (satu) sampai dengan pelita V (lima) yang kemampuannya masih antara
250-500 dari jumlah total 1.000 nilai pelaksanaan yang diharapkan dari 10 jurus
kemampuan kelompok tani dan baru adanya peningkatan kelas kelompok utama
terjadi pada Pelita VI (enam), hal inilah yang perlu kita perbaiki dan dipacu
untuk memperkuat peningkatan kemampuan kelompok tani, sehingga mereka dapat
berusaha tani lebih baik dan berproduksi tinggi.
1.2.
Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis atau karya ilmiah ini yang
merupakan hasil pengkajian di bidang pertanian dengan maksud dan tujuan antara
lain :
a.
Agar para pembaca
mampu memahami beberapa peluang dan upaya peningkatan mutu
intensifikasi, baik bagi pelaku utama maupun pelaku usaha dalam pengelolaan usaha tani secara effektif dan efisien.
b. Diharapkan arah pembiraan pada keiompok tani Madya dan
Utama sesuai dengan tingkat kemandiriannya, agar mampu menerapkan inovasi Sapta
Usaha secara baik dan benar, datem upaya meningkatkan produksi dan
produktivitas tanaman pangan disamping tidak kalah pentingnya peran dan
kemampuan keiompok tani Pemula dan kelompok tani lanjut.
II.
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN PENERAPANNYA
Teknologi Produksi yang berperan penting dalam upaya
peningkatan produksi dan produktivitas gabah mulai dikembangkan mu!a-mula
dengan narna Panca Usaha yang terdiri dari pengolahan tanah, dan bercocok tanam
yang baik, pengaturan air, penggunaan benih unggui, pemupukan yang baik, dan
pengendalian hama dan penyakit tanaman. Teknologi ini berkembang menjadi Sapta
Usaha tambahan penanganan pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.
Berdasarkan hal tersebut kita mencoba melihat secara
keseluruhan, faktor-faktor mana saja dari teknologi
tersebut yang telah dilaksanakan secara sempurna di lapangan. Mana diantara faktor-faktor tersebut yang segera dapat diperbaiki dan
memberikan sumbangan yang cukup besar untuk upaya peningkatan produksi dalam
jangka pendek (daiam waktu yang relative tidak terlalu lama). Demikian juga
dengan pertirnbangan terhadap petani dalam pelaksanaannya dari segi teknis,
ekonomi dan sosialnya.
Berdasarkan beberapa pandangan dan kenyataan
dilapangan urutan-urutan sumbangan terbesar yang segera dapat memberikan usaha
peningkatan hasil dalam waktu relative
singkat sebagai berikut :
1.
Penggunaan Benih
Unggul
Berbagai jenis padi unggul sejak awal Pelita I sudah diperkenalkan dan digunakan oleh petani.
Dari berbagai jenis yang diperkenalkan satu dan lain varietas saling bertukar
dari lapangan, karena berbagai hal antara lain : Kesesuaian tempat, rasa yang
kurang enak, tidak tahan serangan hama dan penyakit, produksi rendah dan
lain-lain.
Tanggapan
1.
Daya tampung
benih oleh penangkar
2.
Pihak BBU masih
sulit mensuplai benih.
Pergiliran varietas belum dilaksanakan secara baik
antar musim. Demikian juga penggantian benih belum dilakukan setiap musim, sehingga kemudian benih yang digunakan sudah jauh menurun dan kemampuan produksinya
pun rendah.
Penyediaan benih bersertifikat (beriebel biru) masih sangat terbatas di daerah, sehtngga sebagian besar
masih didatangkan dari luar Aceh. Hal
inilah merupakan hambatan utama dllapangan dalam mendorong petanl menggunakan
benih unggul bermutu. Anjuran tal tetah sering diberlkan, tetapi petani bila meminta scara tenyak sering benih
tidak tersedia cukup dilapangan. Hal ini pula yang
mendorong adanya penipuan penjualan benih lokal yang dipasarkan (disertifiksi) kembli
oleh pedagang yang akan mencari keuntungan.
2.
Pemupukan
Berimbang
Jenis pupuk yang sudah merata penggunaannya di Aceh
adalah Urea. TSP, sakalipun belum sesuai dengan rekomendasi. Pada areal
Intensifikasi (Insus Paket B, Q dan D) pemakaian pupukUrea dan T5P sudah
mendekati rekomendasi.
Dengan pemakaian varietas-varietas padi berproduksi
tinggi yang responsive terhadap pemupukan Nitrogen berat maKa produksi
meningkat Pemakaian Kalium dari dalam tanah bertambah dari persediaanya dalam tanah berkurang. Pemupukan dengan
Kalium masih belum banyak dilaksanakan kecuali pada areal Insus. Pemakaian
pupuk pelengkap cair (PPC) dalam kenyataannya baru sedikit pada areal Insus paket D, yang biasa digunakan adalah
Hydrasi, Antonik-Metalik dan sedikit sitozym. Padahal
melalui pemupukan yang tepat sudah ternyata akan memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dan sudah terbukti dari beberapa
percontohan Demplot, Denfarm, dan Dem Area yang dilakukan.
3.
Pengendalian Hama
dan Penyakit
Sampai tahun 1986 sebelum dikeluarkan inpres No.3
tahun 1986 upaya penanganan hama dan penyakit tanaman masih dilaksanakan dengan
cara perlindungan tanaman yaitu mengadakan penyemprotan tanaman dengan
pestisida secara priodik untuk melindungi dari
serangan hama dan penyakit.
Sejak adanya Inpres No.3 tahun 1986, konsep penanganan
hama telah nerubah menjadi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu dengan
menggabungkan semua cara dan dengan membatasi penggunaan pestisida. Pestisida
hanya digunakan apabila tidak ada lagi cara yang berhasil dengan
tindakan-tindakan lain. Cara pengendalian hama terpadu ini belum digunakan,
harganya murah dan dampaknya mudah dilihat oleh petani dilapangan.
Banyak petani yang masih merasa belum puas apabila
menyemprot dilapangan tidak melihat langsung hamanya mati. Padahal dalam PHT,
tidaklah bermaksud pembasmian/eradikasi, tetapi penyemprotan dimaksudkan untuk
menekan populasi hama agar berada dibawah ambang ekonomi.
Kesadaran petani akan hal ini perlu terus menerus
ditingkatkan agar mereka benar-benar dan tunit
berpafiisipasi aktif melaksanakannya.
4.
Pelaksanaan Pasca
Panen
Dalam penanganan pasca panen untuk memperbaiki mutu
gabah, baru mendapatkan perhatian besar
sejak tahun 1982. Sebelumnya upaya terbanyak
yang ditakukan adalah untuk menerapkan teknologi produksi dalam mengejar
tingkat produksi yang lebih tinggi persatuan luas areal. Setelah adanya survey
JICA dan Dirjentan pada tahun 1981/1982. ternyata
kehilangan gabah selama pelaksanaan panen dapat mencapai 12,3 % (rata-rata
untuk Aceh) dan adanya penurunan mutu gabah akibat pamupukan (Phui) serta
menylmpan gabah dengan kadar air masih diatas 14 %, maka upaya perbaikan pasca
panen telah digiatkan sejak tahun 1982.
Beberapa tahapan pasca panen ini sudah berhasil dilaksanakan seperti
memperbaiki mutu dengan menghilangkan Phui, tetapi
dampak lain timbul yaitu meningkatnya kehilangan bobot karena penggunaan alat-aiat pasca
panen yang kurang tepat dan penanganan pekerjaan yang
kurang cermat mulai dirasakan.
5.
Pengaturan Air
Irigasi
Peranan pengaturan air irigasi memang cukup besar,
daiam peningkatan pnoduksi padi, tetapi dalam perbaikan-perbaikan irigasi ini
ternyata memakan waktu yang cukup lama, sehingga pembahan dalam waktu cepat
kurang dirasakan. Kalau pada areal yang sudah ada irigasinya memang sudah
digunakan secara maksimal. Disamping itu penanganan irigasi ini menyangkut
lintas Instansi, jadi agak lama memerlukan waktu dalam pembenahannya.
6.
Pengolahan Tanah
Sekitar 30% areal sawah yang ada sudah diolah dengan
menggunakan traktor dan kedalaman bajakannya masih sangat minim. Dalam
pengolahan tanah ini yang paling penting adalah masaknya tanah yang diolah
sebelum tanam. Sering petani menanam padi pada saat rumput belum busuk,
sehingga pertumbuhan tanaman lambat, kurang subur dan produksinya pun akan
menjadi rendah.
7.
JarakTanam dan
Popular Tanam.
Sekalipun anjuran mengadakan tandur jajar dengan jarak
tanam teratur 20 x 20 On telah diberikan temyata belum banyak petani yang melaksanakannya secara penuh. Dengan demikian
populasl tanaman tidak dicapai secara penuh. Berdasarkan pengamatan dilapangan,
jarak tanam yang digunakan maah berkisar 25 x 25 Cm atau 30 x 30 Cm dengan
jarak tanam yang belum teratur, populasi tanaman diperkirakan masih berkisar
antara 150.000 rumpun/Ha. Dengan demikian produksinya pun akan rendah.
8.
Penyiangan
Anjuran untuk Menyiang tanaman padi pada umur satu bulan dan 55 - 60 hari setelah tanam,
sudah lama diberikan kepada petani. Dalam
pelaksanaannya dilapangan hanya areal-areal Intensifikasi khusus yang sudah
agak tertib menyiang dua kali, sedangkan lainnya baru
menyiang satu kali.
Persaingan perakaran padi dengan gulma dalam menyerap
pupuk belum begitu disadari oleh petani, karena keterbatasan pengetahuan yang
dimilikinya.
III.
PELUANG DAN UPAYA UNTUK MENINGKATKAN MUTU INTENSIFIKASI
Untuk tebih meningkatkan produkst
dan memperbaiki
mutu Intensitas dapat dimanfaatkan berbagai peluang dan
upaya yang besar sekali sumbangannya antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Penggunaan Benih Unggul.
Salah satu faktor produksi utama yang sangat berperan
dalam peningkatan produksi atauoun produktivitas perhektar adalah tersedianya
benih unggul bermutu yang memenuhi kriteria yaitu sesuai dengan varietas yang
dibutuhkan, tersedia dalam jumlah besar, mutu, waktu yang tepat, harga yang
terjangkau bagi petani yang membutuhkannya.
Untuk dapat tersedianya benih unggul bermutu bagi
petani dalam rangka program Intensifikasi, selama Pelita III dan Pelita IV
telah dilaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dibidang perbenihan antara lain
memperkuat institusi-institusi perbenihan yang ada seperti Balai-Balai Benih,
Balai Pengawasan Mutu dan sertifikasi Benih
serta penumbuhan/ pembinaan penangkar-penangkar benih, disamping
meningkatkan peranan swasta dibidang perbenihan.
Kebutuhan akan benih bermutu dari tahun ketahun terus
meningkat sesuai dengar. meningkatnya kesadaran petani terhadap penggunaan
benih unggul bermutu serta meluasnya areal tanam. Kegiatan pengadaan den
penyaluran benih merupakan suatu mata rantai kegiatan yang harus dilaksanakan
secara berkesinambungan sesuai dengan adanya kelas benih yaitu Benih Perjenis (BS), Benih Dasar (FS), Benih Pokok (SS), dan
Benih Sebar (ES) serta sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, maka perlu
pembinaan terhadap pelaksanaan dan penyaluran benih tersebut sejak dari hulu
(BS) sampai kehilir (ES), serta peningkatan pengawasan mutu dan sertifikasi
benih.
2. Pemupukan Berirnbang
Dimasa lalu pemupukan berimbang
N, P dan K masih kurang mendapat perhatian dari
petani, sehingga produksi tingkat padi yang
diperoleh masih rendah menyebabkan produksi rendah dan penyediaan P dan K dalarn tanah masih
belum menjadi masalah.
Dengan meningkatkan pelaksanaan Intensifikasi dan
penggunaan varietas-varietas
padi unggul baru yang lebih responsif terhadap pemupukan N
berat, tetah jauh dapat: meningkatkan produksl Semakin tingginya produksi yang
diperoleh akan semakin banyak pula unsur-unsur P dan K yang diangkut dari dalam
tanah. Dengan demikian unsur tersebut semakin berkurang
persediaannya dalam tanah.
Pemakaian pupuk N adalah sangat penting untuk
memberikan pertumbuhan yang baik dalam meningkatkan produksi. Untuk
mempertahankan produksi pada tingkat yang tinggi tersebut unsur P dan K
diperlukan dalam keadaan yang cukup dalam memperoleh produksi yang stabil.
Sedangkan unsur- unsur tersebut tidak selamanya tersedia dalam keadaan cukup
dalam tanahf tertutama unsur Kalium
Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk
menghasilkan 1000 Kg gabah diperlukan ± 26 Kg K2O. Pada tingkat produksi 5 Ton/Ha diperluka 130 Kg K2O
dan pada tingkat produksi 8 Ton/Ha diperlukan 210 Kg K2O.
Kalium yang dibutuhkan oleh tanaman padi berasal dari:
tanah, air irigasi dan pupuk. Setiap jenis tanah mempunyai kadar kandungan K
sendiri. Tanah-tanah berpasir umumnya mempunyai kadar K rendah. Tanah-tanah
berat umumnya tidak dapat melepaskan K secara tepat untuk memenuhi kebutuhan
tanaman yang berproduksi tinggi. Air irigasi hanya dapat mengandung 9 - 90 Kg K2O/Ha.
Tetapi air irigasi disamping mengandung K juga mencuci K dimana kehilangan
karena pencucian kadang-kadang lebih tinggi dari K yang dibawahnya. Kekurangan
K sering terjadi di daerah-daerah yang dilalui air irigasi yang berasal dari
daerah berbatu kapur.
Dalam keadaan yang baik, persedian K yang berada dalam
tanah dan K yang berasal dari air irigasi dapat mencukupi kebutuhan untuk
mencapai tingkat hasil 3 Ton/Ha. Pada tingkat produksi yang lebih tinggi sumber
K akan tidak cukup lagi dan perlu ditambah dengan pupuk-pupuk yang mengandung
Kalium.
Gejala tanaman padi kekurangan K jarang kelihatan pada
waktu tanaman masih muda, tetapi baru kelihatan pada tanaman yang sudah agak
tua (1-2 bulan).
Daun-daun
tanaman yang kekurangan kalium, kelihatan benwarna
hijau tua dengan bercak-bercak ;karat berasal dari atas pada daun-daun tua dan pucuk serta tepi helai daun mejadi nekrosis bewarna coklat kemerahan atau coklat kekuningan. Daun-daun mati sebelum waktunya setelah tanaman berbunga. Daun-daun tua menunduk terutama pada tengah
hari dan daun-daun tua menggulung seperti tanaman
kekurangan air. Batang tanaman pendek dan kerdil dan mudah
rebah. Malai pendek dan kehampaan tinggi. Akar
tanaman umumnya kurang berkembang, kecil-kecil dan pendek dengan cabang
akar rambut sangat kecil. Warna akar sering berubah menjadi
coklat tua, hitam menandakan akar
busuk dan kurang berfungsi.
Cara untuk menentukan kebutuhan K pada tanaman dapat dilakukan dengan cara:
a.
Analisa tanah.
b.
Percobaan
pemupukan dilapangan dan
c.
Analisa jerami
dari percobaan pemupukan.
Berdasarkan hasil berbagai analisa, percobaan dari
beberapa tempat telah diperoleh rekomendasi pemupukan untuk mendapatkan produksi
yang tinggi sebagai berikut:
Tinqkat Hasil
ton/Ka
|
Kebutuhan Pupuk (Kg/Ha)
N P2O5 K2O
|
||
3
4
5
6
Lebih dari 6 Ton
|
30-50
50-70
70-90
90-120
120-150
|
0-30
30-50
50-60
60-75
75-90
|
0-30
30-40
40-60
60-90
90-150
|
Tergantung pada masing-masing tanah sawah, maka
perimbangan pemberian pupuk N, P dan K tersebut
dapat digunakan sebagai ancar-ancar. Untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih
akurat agar lebih diperbanyak lagi pengujian-pengujian dan percobaan pemupukan
setempat dengan berbagai variasi sehingga diperoleh perimbangan yang sesuai
dari ketiga jenis pupuk tersebut.
Agar pupuk yang diberikan
memberikan hasil yang optimal dianjurkan pemberian pupuk sebagai berikut :
1.
Semua pupuk TSP diberikan sebagai pupuk dasar/pendahuluan
2.
Pupuk N sebagai diberikan dua
kali yaitu sebagai pupuk dasar (50%) dan sisanya sebagai pupuk susulan pada saat tanam pada fase promordial (bunting).
3. Untuk pupuk KCL apabila jumlahnya lebih dari 50 Kg KCL/Ha, agar diberikan dua kali
yaitu 50 % sebagai pupuk dasar dan 50% sebagai pupuk pada anakan aktif.
Tetap apabila jumlahnya tidak
iebih dari 50 Kg KCL/Ha (± 30 Kg K2O/Ha) agar diberikan sekaligus pada umur 2-3 minggu
setelah tanam, Dengan demikian akan diperoteh hasil dan respon yang lebih baik
terhadap pemupukan.
3.
Pengendalian Hama
Terpadu.
Dari berbagai catatan sejarah perkembangan produksi
pertanian tanaman pangan, kerusakan yang dialami akibat serangan hama dan
penyakit tanaman tidak pernah berkurang, malahan dirasakan semakin meningkat. Di Indonesia
kerugian ini diperkirakan 15 - 20 % dari potensi produksi pertanian total.
Sejak akhir perang Dunia
Ke II, diketemukan DDT dan digunakan untuk pengendalian
hama, maka harapan, perhatian dan tindakan pengendalian hama banyak dicurahkan
pada pestisida dan seakan-akan melupakan cara-cara
pengendalian yang lain. Dengan demikian cara berpikir tentang hama dan
pengendaliannya menjadi sangat sederhana dan dangkal. Kenyataannya tumpuan
harapan pada pestisida tidak terpenuhi dan tidak mampu menyelesaikan
permasalahan hama yang ada dilapangan. Kecenderungan pemakatan pestisida dari
tahun 1970-1986 ternyata bukan mengurangi hama. Luas serangan hama wereng
coklat pada tanaman padi beserta virus yang ditularkan malah meningkat Pada
tahun 1977-1978 di Daerah Istimewa Aceh saja serangan hama wereng coklat telah
mencapai 30.000 Ha/Tahun.
Dibandingkan dengan cara-cara pengendalian hama
lainnya, pestisida mempunyai banyak kelebihan antara lain : daya racun/bunuh
hama yang tepat, berspektrum lebar sehingga dapat disesuaikan dengan keadaan,
seringkali memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi bagi petani karena harga
pestisida yang tinggi rendahnya akibat subsidi pemerintah yang tinggi. Tetapi
penggunaan pestisida yang tidak bijaksana menimbulkan masalah-masalah baru yang
merugikan dan sulit dipecahkan. Hal ini yang sering terjadi sehingga berakibat
negative terhadap program peningkatan produksi yang digalakkan.
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) timbul akibat
perkembangan pengendalian hama yang lebih menekankan pada penggunaan pestisida.
Dalam PHT, pestisida
hanya merupakan pilihan terakhir apabila
dengan cara pengendalian yang lain rnarnpu ditanggulangi.
Dalam PHT diutamakan pada penyendalian hama secara
alami yaitu menclptakan keadaan lingkungan yang 'tidak menguntungkan
perkembangan hama/ tetapi menguntungkan bagi berfungsinya agensia-agensia
pengendalian alami seperti serangga, parasit, predator dan patigin hama.
Penggunaan pestisida diusahakan pada saat terakhir
dengan tujuan untuk membantu agro ekosistem kembali ke keadaan yang seimbang.
Dengan demikian tujuan PHT adalah untuk menekan populasi/kerusakan akibat hama
dibawah Ungkatan yang tidak merugikan sehingga memberikan situasi yang
mendukung sasaran produksi tetep dapat dicapai dan kerusakan lingkungan dapat
ditekan sekecil-kecilnya.
Oleh karena itu ambang ekonomi adalah salah satu
komponen utama dalam sistem PHT. Ambang ekonomi digunakan sebagai pedoman untuk
mengambil keputusan dalam penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida hanya
dilakukan apabila ternyata populasi atau kerusakan akibat hama telah melampaui
nilai ambang ekonomi yang ditetapkan. Dengan cara ini penggunaan pestisida
dapat dihemat dan efektifitasnya semakin ditingkatkan.
Secara umum penentuan ambang ekonomi nampaknya
sederhana dan ideal. Mengingat sifat dinamika ekosistem dan sistem sosial
ekonomi masyarakat maka penetapan ambang ekonomi membutuhkan pendekatan lintas
disiplin.
Tujuan PHT bukanlah pemusnahan, pembasmian atau
pemberantasan hama, tetapi berupa pengendalian populasi hama agar tetap berada
dibawah suatu tingkatan yang dapat mengakibatkan kerusakan atau kerugian
ekonomi. Dengan kata lain tujuannya bukan eradikasi atau pemberantasan hama
tetapi berupa pembatasan (containtment).
Jadi pada suatu jenjang toieransi manusia terhadap populasi hama atau kerusakan
yang diakibatkan dilapangan.
4.
Pelaksanaan Pasca
Penen
5.
Upaya penangana tahun 1982. Kegiatan ini terus berkembang hingga sekarang ini.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan Dirjentan dan JICA
pada tahun 1981/1982 total
kerusakan/kerugian terbesar yang dialami dalam
penanganan pasca panen di Daerah Istimevra Aceh sebekim tahun 1982 adalah menurunnya mutu gabah sebagai akibat penumpukan phoel dan masih tingginya kadar air gabah sewaktu
dilakukan penyimpanan. Gabah sering rnenjadi lapuk dan menghasilkan beras berbutir kuning dan butir merah yang
tinggi. Bau bera apek dan rasanya kurang enak.
Dari hasil survey JICA dan Dirjentan pada tahun 1982
tersebut kehilangan bobot selama tahapan-tahapan pasca panen mencapai 12,3 %,
sedangkan penurunan kerusakan mutu mencapai 30 %.
Pada akhir tahun 1985 phoei sudah dapat dihilangkan
daff mutu gabah juga sudah dapat diangkat kembali, tetapi akhir-akhir ini mulai
dir^sakan dampak dari pemakaian power thresher yang semakin berkembang yaitu
tingginya kehilangan bobot dan makin meningkatnya beras pecah karena putaran
power thresher (RPM) yang digunakan terlalu tinggi (melewati 600-700
putaran/menit).
Untuk mengatasi hal ini perlu adanya psnyuluhan yang
itensif guna menyadarkan petani dan para pemilik power thresher, sehingga
mereka memahami secara benar tujuan peningkatan produksi yang digalakkan
pemerintah. Demikian juga perlu diadakan pengawasan dalam pembuatan dan
penggunaan power thresher agar jangan melewati batas putaran yang dianjurkan.
Apabila petani dan pemilik power thresher dapat berpartisipasi penuh dalam hal
ini, akan dapat menyelamatkan kehilangan hasil antara 5-7 % setiap tahunnya yang akan memberikan sumbangan besar terhadap
peningkatan produksi Daerah Istimewa Aceh.
Dari beberapa factor utama dalam peningkatan produksi
ini agar diprogramkan secara cermat di BPP dan WKPP sebagai bahan/materi
latihan kepada para penyuluh dan bahan kunjungan penyuluh untuk membimbing
kelompok tani dilapangan.
IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang dikemukakan diatas, dapat
dipahami bahwa peluang dan kesempatan untuk meningkatkan produksi gabah dan
para peteku utama di Aceh sangat cukup besar.
4.2. Saran-saran
Untuk mencapai tingkat produksi yang diharapkan tersebut
perlu usaha keras dan kerjasama yang disusun rapi antara petugas penyuluh dan
petani bersama kelompoknya. Oleh karena itu disarankan berbagai kegiatan untuk
mengsukseskan upaya-upaya pencapaian produksi tersebut sebagai berikut:
1. Para penyuluh agar benar-benar membina petani dan
kelompoknya supaya menerapkan paket tehnologi yang dianjurkan. Tekanan
perbsikan paket tehnologi ini terutama pada : penggunaan benih unggul,
pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu dan penanganan pasca panen.
Tehnologi ini seperti bercocok tanam, pengaturan jarak tanam dan lain-lain
biasanya akan menyusul.
2. Dalam latihan di BPP kepada para penyuluh juga materi
dari keempat faktcr diatas supaya dimantapkan dengan cara membuat
percontohan-percontohan seperti Demplot, Denfarm dan Dem area agar ditingkatkan
pada empat factor tersebut sehingga petugas dan petani benar-benar memahaminya.
3. Usaha-usaha perbaikan yang dilakukan agar dievaluasi
setiap tahun dan terus menerus berkesinambungan dalam perbaikan-perbaikan
terhadap faktor-faktor yang masih dirasakan selalu jsdi hambatan. (Eshar 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Kasumbogo Untung, DR. Ir. Februari 1984. Pengantar
Analisa Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta.
Anonimous. Desember 1977. Diagnosa dan
Korekasi Kekurangan Kalium Pada Beberapa Tanaman Tropik, SE. Asia Program Of
The Pothash Institut. Edisi kedua.
_______. 1976. Bercocok Tanam Padi dan Palawija. Departemen
Pertanian Sekretariat Pengendali Bimas. Jakarta.
_______.1987.
Pedoman Penyelenggaraan Supra
Insus Padi Sawah. Departemen Pertanian Sekretariat
Pengendali Bimas. Jakarta.
_______,1988. Informasi Pertanian Tanaman Pangan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Selama Pelita. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Undang-undang No. 12 Tahun 1992. Tentang
Sistem Budidaya Tanaman.
Peraturan Pemerintah Nomor: 14 Tahun
1995. Tentang Perbenihan Tanaman.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
460/KPTS/ORG/XI/1971;Jo Nomor.
671/KPTS/ORG/2/1977 dan Nomor: 415/KPTS/UM/71/1979 diperbaiki dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 803/KPTS/OT.210/7/1997. Tentang Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Bina.
671/KPTS/ORG/2/1977 dan Nomor: 415/KPTS/UM/71/1979 diperbaiki dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 803/KPTS/OT.210/7/1997. Tentang Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Bina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar